Monday, June 26, 2006

Ijen - 1860 dpl


Awal bulan Juni 2006 lalu, saya berkesempatan mengunjungi sebuah kota kecil di propinsi Jawa Timur. Dengan menggunakan bus yang ditempuh selama 3 jam lebih, akhirnya tibalah saya di kota Bondowoso.

Kota bondowoso ini berpenduduk sekitar 650.000 jiwa dan berhawa sejuk. Tepat pukul 04.00 sore, saya tiba disebuah hotel yang cukup mewah. Ijen View Resort, hotel bergaya tropis minimalis ini merupakan hotel paling mewah di kota Bondowoso. Suatu hal yang sangat mengejutkan bahwa dikota ini terdapat hotel mewah dengan gaya arsitektur Bali.

Setelah menikmati makan malam di pinggir kolam renang yang cukup besar, saya menyempatkan diri berjalan-jalan mengitari kota Bondowoso. Salah satu kegiatan favorit saya setiap mengunjungi sebuah kota adalah menemukan alun-alun kota tersebut. Karena disetiap kota di Indonesia pasti terdapat alun - alun dan merupakan pusat keramaian.

Malam itu, kota Bondowoso cukup ramai. Di sekitar alun - alun, banyak ditemukan para pedagang kaki lima yang menjual pernak-pernik hingga makanan. Saya menyempatkan duduk disalahsatu lesehan kaki lima dan menikmati wedang ronde.....salahsatu minuman penghangat khas kota yang berhawa sejuk tersebut.

Disalahsatu sudut alun - alun dapat ditemukan sebuah Monumen yang bernama Gerbong Maut....replika Gerbong Maut tersebut menyita perhatian saya malam itu, setelah menikmati hidangan wedang ronde. Menurut cerita, pada tanggal 23 November 1947 gerbong maut tersebut membawa para pejuang kemerdekaan RI dari stasiun KA Bondowoso menuju penjara Kalisosok, Surabaya. Karena cuaca yang sangat panas dan suasana gerbong yang penuh sesak, para pejuang berteriak kehausan. Tapi teriakan mereka tidak digubris oleh para penjajah Belanda, akhirnya sekitar 40 pejuang kemerdekaan RI ditemukan tewas akibat kehausan dan kepanasan. Dan setiap hari Pahlawan, masyakarat dan pemda Bondowoso memperingati peristiwa tersebut di depan monumen gerbang maut.

Keesokan harinya tepat pukul 03.00 dini hari, saya meninggalkan hotel dan menuju kekawasan pegunungan Ijen. Jalan yang sempit, berbatu, menanjak serta berliku menjadi tantangan tersendiri pagi hari itu. Perjalanan ke kawasan pegunungan Ijen dapat ditempuh selama 1,5 jam dengan mobil. Sesampainya di pos penjagaan perhutani Ijen, saya berhenti dan menunggu terbitnya fajar. Hawa dingin pegunungan Ijen segera menusuk relung tulang dan semburan hawa segera keluar setiap kali saya berbicara. saya segera menuju api unggun untuk menghangatkan diri bersama-sama dengan para penjaga pos.

Menurut keterangan yang saya dapat dari penjaga pos, kawasan pegunungan Ijen merupakan kawasan perkebunan kopi Arabika dengan kualitas ekspor dan memiliki cita rasa yang khas. Tidak heran setiap mobil yang akan keluar dari pos ini akan diperiksa, dikhawatirkan para penduduk membawa kopi ilegal keluar dari kawasan perkebunan. Banyak rombongan wisatawan asing yang memasuki area perkebunan ini.

Lambat laun, matahari mulai menunjuk menunjukkan keperkasaannya dari balik kawah gunung Ijen. Dan tumbuhan kana yang berwarna warni, terlihat sangat mempesona pagi itu. Kemudian saya melanjutkan perjalanan ke PalTuding, tempat perkemahan untuk menuju kawah gunung Ijen. Selama perjalanan, kita bisa meyaksikan pemandangan suasana perkampungan yang masih asri dan sebagian penduduknya masih berselimutkan sarung karena hawa dingin pegunungan.

Paltuding berada di ketinggian 1860 dpl (diatas permukaan laut) dan jalan terakhir menuju kawah Ijen....disini kita bisa menyaksikan para penambang belerang yang diambil dari kawah Ijen. Gunung Ijen sendiri merupakan gunung berapi aktif dan memiliki kandungan belerang yang berlimpah. Para penambang sendiri hanya berbekal dua buah keranjang untuk membawa belerang dan mereka menggigit kain basah untuk mengambil nafas di dasar kawah Ijen. Karena kandungan fosfor yang tinggi menyebabkan nafas manusia bisa sesak...perjalanan menuju kawah ijen dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama 1 - 1,5 jam.

banyak wisatawan asing yang melakukan pendakian hingga ke kawah Ijen, pemandangan menarik kawah Ijen memikat para wisatawan termasuk saya pribadi. Air kawah gunung Ijen yang berwarna hijau tosca dan terkadang berwarna biru dengan asap belerangnya memberikan nuansa magis tersendiri.

Setelah dari kawah Ijen, saya melanjutkan perjalanan. Ternyata kawasan gunung Ijen merupakan taman nasional yang menyimpan berbagai flora dan fauna. Hutan tropis primer bisa kita saksikan di sekitar taman nasional. Menurut penuturan para penjaga pos, macan kumbang dan serigala hutan masih banyak terdapat di taman nasional ini. Semoga kawasan ini dapat selalu terjaga dengan baik.

Dan perjalanan saya dilanjutkan menuju ke pelabuhan ketapang, banyuwangi. Kapal feri membawa saya menyebrangi selat Bali yang hari itu sangat mempesona dengan latar belakang gunung Ijen dibelakang saya serta taman nasional Bali barat didepan.

Aufwiederseht, Ijen......

Sunday, June 25, 2006

Are you Famous?


Are you famous? Tiba-tiba saya tersedak setelah mendengar pertanyaan tersebut, hampir saja kopi yang saya minum tumpah. Sambil tersenyum kecil, saya menjawab.....Ofcourse not, darling!!! Since when I become famous.........I am just a common people.

Minggu pagi disaat membaca koran kegemaran saya dan sambil meminum secangkir teh hangat, mata saya terbelalak.......seakan tidak percaya. Tampak sesosok wajah yang saya kenal muncul di sebuah iklan di koran tersebut. Wah...hebat yakh, dalam hati saya berkata seperti itu. Dan membuat saya menjadi iri, ingin menampilkan wajah saya di iklan media massa.

Sambil menghisap sebatang rokok, saya memainkan fantasi saya. Saya menjadi sebuah bintang iklan di media dan semua teman-teman saya memuji penampilan saya. Tapi kucing sialan telah mengaburkan fantasi saya...........dan sperti kesetrum saya jadi tertawa geli. Siapa yang hendak memakai wajah saya untuk sebuah iklan.......hehehee.........saya tertawa dalam hati ini.

Suatu saat, saya menemukan foto teman saya terpampang di selembar majalah dan mengupas profile kehidupan dia. Tidak lama kemudian saya mendapatkan potongan majalah tersebut muncul di tampilan foto FSnya. Hmm.........saya bergumam..........

Dalam sebuah party di bilangan kuningan, jakarta selatan.....serombongan tante tampil modis dan sangat cantik. Semua yang dipakainya serba wah dan branded.....segelas red wine segera saya ambil. Sambil melihat kekanan dan kekiri, saya mencoba mencari sesosok wajah yang saya kenal. Akhirnya saya menemukan seseorang yang saya kenal.......dan tradisi cipika cipiki pun dimulai. Sesaat teman saya tersebut berkata.......Darling, It's time for you to change the community!!

Saya sempat kaget mendengarkan statement teman saya tersebut, dalam hati saya bertanya apa gerangan dia berkata seperti itu. Dan saya mencoba tersenyum dan belajar untuk terus memegang gelas red wine agar jangan sampai berada di bawah pusar.......

Waktu sudah berjalan satu jam, acara berupa fashion show masih belum bisa menghibur saya. Saya sudah tidak tahan untuk tetap berada di kalangan selebritas dan konon creme de la cremenya jakarta. Pelan-pelan saya berusaha mencari pintu keluar...dan bergegas mencari taksi.............di dalam taksi, saya bernafas dengan lega. Lega karena bisa keluar dari kerumunan tersebut yang menyebut diri mereka selebritas.

Sambil menyeruput secangkir cappucino di gloria jeans coffee....saya merasakan keleluasaan. Suasana yang tenang dan musik yang sayup-sayup mengalun, membuat saya lupa pada apa yang baru saja terjadi pada saya. Beberapa teman segera menghampiri dan kami mengobrol sambil tertawa riang. Ah...ternyata memang paling enak menjadi diri kita sendiri tapi perlu berpura-pura famous. Semua berpulang pada hati nurani........

Sayup-sayup terdengar lagunya Buble - Home...

Another summer day
has come and gone away
In Paris and Rome
But I wanna go home
Mmmmmmmm


Maybe surrounded by
A million people I
Still feel all alone
I just wanna go home
Oh I miss you, you know


And I've been keeping all the letters that I wrote to you
Each one a line or two
I'm fine baby, how are you?;
Well I would send them but I know that it's just not enough
My words were cold and flat
And you deserve more than that


Another aeroplane
Another sunny place
I'm lucky I know
But I wanna go home
Mmmm, I've got to go home


Let me go home
I'm just too far from where you are
I wanna come home


And I feel just like I'm living someone else's life
It's like I just stepped outside
When everything was going right
And I know just why you could not
Come along with me
But this was not your dream
But you always believe in me


Another winter day has come
And gone away
And even Paris and Rome
And I wanna go home
Let me go home


And I'm surrounded by
A million people I
Still feel alone
Oh, let go home
Oh, I miss you, you know


Let me go home
I've had my run
Baby, I'm done
I gotta go home
Let me go home
It will all right
I'll be home tonight
I'm coming back home

Sunday, June 18, 2006

Soccer Fever

Soccer Fever gets me on........jujur saja, saya adalah seseorang yang paling malas untuk menonton bola. Dalam pikiran saya, menonton bola adalah sesuatu yang membosankan dan apalagi harus menunggu waktu permainan di TV pada waktu malam/tengah malam........

Sewaktu berada di tenda pengungsian di Desa Panggungharjo, Bantul..........dari sekian banyak harta benda yang hancur, Televisi adalah salahsatu barang berharga yang masih bisa diselamatkan buat para pengungsi saat ini.....dan Televisi menjadi hiburan tersendiri buat para pengungsi...

Tanggal 9 June 2006 yang lalu, Piala Dunia bergulir di Jerman.....jutaan sosok mata menyaksikan acara pembukaan tersebut.....yang sayangnya acara pembukaan tersebut tidak bisa disaksikan secara LIVE di salahsatu TV swasta di Indonesia karena habis disita waktunya oleh seorang anchor (pembawa acara) yang notabene salahsatu anak pembesar di Indonesia dan komisaris TV swasta tersebut.....

pukul 10.30 PM seperti waktu yang telah dijadwalkan.......beberapa pasang mata di dalam tenda pengungsian menunggu acara pembukaan dan pertandingan pembukaan antara Jerman vs Kosta Rika....saya yang tidak biasa menyaksikan pertandingan bola malam itu......secara terpaksa harus menyaksikan acara tersebut, karena hanya ada 1 buah TV didalam tenda tersebut.......

detik demi detik, menit demi menit sudah saya lalui.......tanpa terasa saya cukup menikmati pertandingan tersebut....suasana gemuruh dan celetukan saling bersahutan pada saat bola bundar hampir masuk kedalam gawang........saya yang baru kali ini menyaksikan sepakbola secara bersama-sama.....I felt so excited......

selepas dari Yogya......kebiasaan yang tidak lazim untuk menonton pertandingan bola, saya lanjutkan.......terakhir saya menyaksikan pertandingan bola antara Belanda vs Pantai Gading.......para pemain Belanda cukup kewalahan kali ini menghadapi salahsatu singa Afrika yang berlaga di Piala Dunia kali ini....

keesokan malamnya, saya menyaksikan kembali pertandingan Ceko vs Ghana....wuih....kali ini perseturan mereka diatas lapangan rumput sangat tidak seimbang......singa Afrika dari Ghana bagai menerkam para pemain Ceko....para pemain Ghana yang sungguh diluar dugaan mampu menguasai pertandingan......permainan individual dan team mereka patut diacungi jempol......mereka berlari sangat cepat dan susah dikejar oleh lawan.....berkali-kali Ghana mempunyai kesempatan untuk memasukkan bola kegawang lawan......tapi apa dikata.....kali ini Ghana cukup diberi dua kali gol walau satu gol lagi tidak dinyatakan masuk oleh wasit..........

Is it me???? The one who hates soccer and now he likes it..........wah saya sendiri tidak tahu jawabannya....mungkin saya sudah terinfeksi wabah piala dunia...sehingga bisa menikmati pertandingan bola kali ini.......mudah-mudahan bisa berlanjut...........Tapi saya tidak yakin apakah saya bisa menikmati pertandingan bola di dalam negeri???? Persija vs PSMS mungkin??? I dun think too..............Malu rasanya lihat klub sepakbola dinegeri ini yang tidak pernah ada kemajuan........hehehehee......

Have a nice soccer game!!!!!

Bersahaja Di Tengah Puing Reruntuhan (3)

Kotagede, 11 Juni 2006 – pagi itu perjalanan saya dimulai ke arah kotagede, situs keraton mataram pertama kali yang dibangun oleh Panembahan Senopati – Raja pertama Mataram yang beragama Islam. Kawasan kotagede juga tidak luput dari gempa, beberapa bangunan ditopang oleh tiang agar tidak roboh. Dan juga kawasan gang-gang sempit yang menjadi sentra industri kerajinan logam perak juga ikut hancur.

Memasuki areal masjid raya Kotagede, tampak terlihat tembok-tembok kokoh yang mengelilingi areal masjid roboh. Bisa dibayangkan kekuatan gempa yang bisa merobohkan tembok masjid yang terkenal kokoh. Tetapi masjidnya sendiri hanya terkelpas temboknya dan didalam areal masjid masih sangat kokoh. Hal ini mungkin terjadi karena arsitektur local masjid yang sebagian terdiri dari kayu. Atap masjid dibuat dari kayu jati dengan ditopang oleh 4 sokoguru (tiang peyangga) dan dengan kekuatan tangan Tuhan YME masjid kotagede masih berdiri kokoh.

Dihalaman belakang masjid ini terdapat makam Panembahan Senopati, tampak para peziarah memberikan sesaji dan meminta berkah. Disampingnya terdapat sebuah kolam dgn sumber air yang tidak pernah kering walau musim kemarau dan didalam kolam tersebut dihuni oleh lele putih raksasa yang konon tidak pernah mati dari dulu dan beberapa ikan lainnya yg juga berukuran besar.

Selepas dari Kotagede, saya meneruskan perjalanan ke arah Prambanan. Beberapa candi seperti Kalasan juga dilanda kerusakan akibat gempa. Candi Prambanan baru saja dibuka untuk pengunjung Cuma dilarang masuk ke dalam areal candi, karena ditakutkan ada gempa susulan dan tertimpa batu candi. Batu – batu candi prambanan tampak berserakan dan masih belum tahu kapan akan direnovasi.

Karena panas yang menerpa dan perut saya yang sudah lapar, saya berinisiatif menuju ke kawasan Kaliurang. Dengan memotong jalan melalui jalur Kalasan – Pakem – Kaliurang, saya menyempatkan diri makan siang di Moro Lejer. Salah satu resto favorit saya. Ternyata hujan abu vulkanik Merapi telah membuat mata saya pedas dan jaket warna hitam menjadi berwarna abu-abu.

Moro Lejer berada di kaki gunung Merapi, dengan menu ikan wader goreng serta sayur lodehnya menjadi santapan favorite. Setelah selesai makan, hembusan angin gunung yang sejuk serta gemericik air sungai membuat kantuk segera menghampiri saya. Hampir 30 menit saya sempat tertidur pulas.

Perjalanan dilanjutkan menuju kearah Malioboro dan sore itu masih tampak ramai.oleh para wisatawan local dan mancanegara yang hendak window shopping. Dibelakang benteng Vrandenburg, terdapat sebuah taman Pintar, sebuah gedung yang dirancang sebagai pusat high technology dan taman bacaan. Gedung BI yang berwarna putih dan tampak megah, sedang direnovasi.

Segera saya menuju ke sebuah gang kecil, gang Sayidan namanya. Berlokasi di depan perempatan patung petruk dan dekat sekolah Marsudirini. Gereja gang sayidan, begitu saya sebut namanya, mempunyai arsitektur yang unik. Dengan ujung atap menara seperti Katedral Jakarta dan sebuah patung Yesus dengan tangan terbuka, menyita perhatian saya. Sayang sore itu, saya tidak bisa memasuki areal dalam gereja. Bangunan gereja ini dibuat abad ke 18 dgn gaya Neo Gothic dan dengan detail yang sangat indah.

Beberapa gereja di Yogya juga mengalami kerusakan, terutama di bagian genting dan atap yang hancur dan juga temboknya yang retak-retak. Tapi tetap tidak mengurangi jemaat Nasrani untuk mengikuti ibadah misa mingguan.

Selepas itu, saya segera menuju cake shop untuk membeli sesuatu agar bisa dibagikan kepada para pengungsi. Saya mencoba untuk merayakan ultah saya secara sederhana. Kesederhanaan kali ini mengiringi ultah saya, tiket Jakarta – Bali yang sudah saya pesan jauh-jauh hari terpaksa hangus. Selepas sholat Isya, saya segera membagikan kue yang beli tadi kepada para pengungsi. Ucapan terimakasih dan diiringi senyuman yang tulus dari para pengungsi menjadi sebuah kado yang manis buat saya malam itu.

Dengan ditemani secangkir kopi hangat, bulan purnama yang indah serta para pengungsi yang saya anggap sebagai saudara, menjadi berkah tersendiri buat saya.

Bersahaja Di Tengah Puing Reruntuhan (4)


Panggungharjo, 12 June 2006 – setelah selesai mandi dan berpakaian, saya mulai mengepak barang bawaan saya. Pukul 08.30 pagi, saya berpamitan kepada mereka. Sedih rasanya meninggalkan mereka, walau hanya beberapa hari berada di tenda pengungsian. Satu persatu, saya salami dan ucapan terimakasih serta permintaan maaf karena tidak bisa membantu banyak mengiringi pamit saya pagi itu kepada mereka. Saya tidak lupa menyempatkan berfoto dengan sebagian kecil dari mereka. Wajah-wajah mereka yang humble tidak pernah saya lupakan.

Saya pasti akan kembali suatu saat nanti, dalam hati saya berkata. Dan saya mendapatkan pelajaran yang paling berharga dalam hidup, tetap bersahaja walau dalam kesulitan. Buat mereka, semua ini adalah hanya ujian.

seperti banyak orang mengatakan, bahwa hidup manusia di bumi hanyalah sementara. Semangat hidup yang tinggi, bekerja keras dan sikap eling lan waspodo menjadi modal buat mereka dan saya pribadi.

Tidak lupa sekali lagi saya menyampaikan terimakasih kepada para donatur yang telah mengumpulkan sumbangan di Warung Ceker dan semoga Tuhan YME membalas kebaikan budi kalian.

Amien.....

Bersahaja Di Tengah Puing Reruntuhan (2)


Bantul, 10th June 2006 – Pagi itu saya bangun pukul 07.00 dan kemudian mandi di salahsatu kamar mandi yang tersisa. Jangan bayangkan kalau di kamar mandi tersebut terdapat pompa airnya, terpaksa saya pagi itu harus menimba air di salahsatu sumur. Ingatan saya langsung teringat rumah si Mbah di Tulungagung, Jawa Timur. Menimba air pagi itu menjadi olahraga pagi tersendiri buat saya.

Setelah selesai mandi dan berpakain, saya segera mempersiapkan makanan bayi yang saya masukkan ke dalam tas ransel gunung. Dengan diantar teman saya Adam, perjalanan saya dimulai dengan motor bebek.

Kawasan Imogiri yang berdekatan dengan situs makam kerajaan tidak luput dari gempa, hamper 80% rumah di tempat tersebut hancur. Pasar Imogiri juga mengalami kerusakan, walau saat ini pasar tersebut telah digunakan kembali oleh masyarakat sekitar. Yang menjadi perhatian saya pagi itu adalah seorang Ibu yang masih mempunyai balita. Tidak jauh dari tempat saya berdiri, ada seorang Ibu yang sedang menggendong bayinya. Beberapa susu SGM untuk balita dari seorang donatur (Warung Ceker) segera saya berikan, ucapan terimakasih yang tulus membuat hati saya trenyuh.

Desa Jetis dan Bambanglipuro di kawasan Bantul, menjadi target saya juga untuk membagikan makanan dan susu bayi. Entah sudah berapa banyak yang sudah saya bagikan dan mereka menerima dengan senang hati. Tidak lupa saya secara pribadi mengucapkan terimakasih kepada para donatur yang sudah menyisihkan sebagian rezekinya untuk para pengungsi......

Didaerah Jetis, Bambanglipuro serta Imogiri sudah banyak terdapat tenda-tenda sumbangan dari berbagai negara seperti Inggris, Iran, Jepang dan Australia. Sementara posko kesehatan dari Iran juga buka didaerah Bantul.

Beberapa rombongan sukarelawan dari TNI AD baru saja turun dari truk mereka, dan segera membantu membersihkan puing-puing dengan dibantu sebuah alat berat. Anak-anak sekolah terpaksa belajar di halaman karena mereka takut terjadi gempa dan bangunan sekolahan mereka tidak layak pakai. Saat itu saya merasa terharu dengan kegigihan para guru di Bantul yang tetap mengajar, walau dibawah sebuah tenda besar dan papan tulis seadanya.

Beberapa jembatan yang retak-retak karena gempa telah selesai diperbaiki dan dapat dipergunakan kembali. Sore itu, pemandangan sawah yang menguning menjadi hiburan tersendiri buat mata saya. Tuhan YME memang adil, masyarakat disana masih diberi berkah dengan padi – padi mereka yang telah menguning dan siap dipanen.

Karena kelelahan akibat cuaca panas yang menerpa tubuh saya, sore itu saya sudah merebahkan diri di atas tikar di dalam tenda pengungsian. Setelah terlelap beberapa saat, saya terbangun dan ternyata sudah pukul 6.30 PM. Saya segera mandi dan berganti baju, tidak lama saya segera membaur dengan masyarakat Panggungharjo.

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat baca di email mengenai tanda-tanda gempa yang bisa dibaca melalui bentuk awan vertical. Awan vertical tersebut disebabkan karena dasar bumi mengandung medan elektromagnetik yang besar. Ternyata beberapa diantara penduduk desa panggungharjo sempat menyaksikan awal vertical diatas kali Opak, Bantul sehari sebelum gempa. Tapi mereka tidak ngeh bahwa awan tersebut salahsatu tanda gempa.

Yang sempat menjadi perbicangan malam itu, patahan gempa yang berawal dari Kali Opak di selatan Bantul hingga kraton serta kawasan prambanan. Seluruh patahan gempa melewati situs – situs bersejarah keraton seperti kawasan Imogiri, Kraton, serta Prambanan. Buat masyarakat sekitar, gempa kali ini menjadi sebuah sinyalemen tersendiri akan keutuhan keraton serta ngerso dalem (panggilan buat sri sultan) yang menjadi pemimpinnya.

Masyarakat Jawa yang tidak lepas dari kultur mistis, sempat menceritakan hal-hal mistis pasca gempa yang terjadi didesa panggungharjo, Bantul. Seminggu setelah gempa terjadi, tepatnya malam Jumat Kliwon yang dipercaya oleh masyarakat Jawa mempunyai nuansa mistis, Pak RT malam itu bercerita bahwa malam itu dua orang yang sedang jaga malam dikejutkan oleh segerombolan orang yang sedang berjalan beriringan. Namun wajah mereka terlihat pucat pasi, sampai salah seorang diantaranya ngeh (kenal) kalau yang sedang berjalan tersebut adalah tetangganya yang telah meninggal.

Tidak jauh dari tenda yang saya tempati, berjarak sekitar 200m merupakan kuburan massal korban gempa. Satu liang lahat diisi sekitar 4 – 5 jenasah korban gempa, dan salah satu korban gempa yang tewas tersebut sering menampakkan diri kepada penduduk sekitar yang selamat dan sering menggoda “Syukur, omahmu roboh! Wis melu aku wae!” (syukur rumahmu roboh, mending ikut saya saja) ujarnya.

Bahkan sering ada yang melihat lentera lampu yang berjalan sendiri, akhirnya beberapa waktu yang lalu mereka secara swadaya mengadakan tahlilan 7 hari untuk para korban gempa yang tewas. Dan hal-hal mistis tersebut dilaporkan belum terjadi lagi, tapi tetap saja hal tersebut membuat bulu kuduk saya merinding karena kuburan massal hanya berjarak sekitar 200m dari tenda pengungsian.

Diluar hal mistis tersebut, penduduk sekitar mempunyai semangat hidup yang tinggi dan mereka selalu berujar bahwa masih syukur mereka bisa selamat, sementara harta benda yang hilang dan hancur bisa dicari lagi suatu saat. Sikap nrimo dan gotong royong mereka, membuat saya yakin bahwa kehidupan masyarakat Yogya dan Jateng bisa pulih dalam waktu cepat.

Tidak lupa mereka bercerita, selepas gempa mereka sempat panic karena adanya isu tsunami. Isu tsunami tersebut muncul karena beberapa sumur sempat luber airnya kepermukaan dan ini yang menjadi pemicu panic massal pada masyarakat sekitar. Akibat panic massal tersebut, beberapa nyawa tidak terselamatkan karena mereka berusaha menyelamatkan diri sendiri hingga lupa masih banyak korban yang tertimpa reruntuhan bangunan.

Malam pertama setelah gempa, mereka tidak berani membangun tenda di dekat rumah. Areal persawahan menjadi salahsatu pilihan utama mereka, dan yang paling menyedihkan hujan deras mengguyur selama 2 malam. Sehingga menyebabkan mereka kebasahan dan kedinginan akibat hujan deras, sementara di dalam tenda yang diutamakan adalah anak-anak serta orangtua. Dan kaum mudanya merelakan diri basah serta kedinginan akibat hujan.

Mereka masih trauma akibat gempa, karena gempa susulan masih terjadi beberapa kali di Yogya dan sekitarnya. Sehingga banyak dari mereka yang selalu tinggal di dalam tenda, karena rumah mereka masih retak2 dan takut roboh akibat gempa susulan.

Dari tengah persawahan dan diterangi bulan purnama, sosok gunung Merapi yang angkuh memperlihatkan keperkasaannya. Luberan lavanya menjadi hiburan tersendiri buat saya, membuat saya terkagum-kagum. Kesempatan ini menjadi moment tersendiri buat saya, setelah di tahun 1995 sempat menyaksikan luberan lava dari daerah Babarsari.

Karena saya masih belum bisa tidur, segera saya menghubungi teman lama saya – Nina yang tinggal di komplek rektor UGM. Tidak lama akhirnya saya sampai juga di rumahnya yang masih berarsitektur art deco, maklum ayahnya merupakan rektor anthropologi UGM terkenal, Pak Teuku Jacob. Nina teman saya sempat bercerita betapa paniknya dia dan keluarganya sewaktu mendengar ada isu tsunami. Padahal jarak antara UGM dan Parangtritis sekitar 20 km, jadi sangat mustahil tsunami menerpa kawasan mereka. Tapi dia dan keluarganya dengan naik mobil menuju kearah kaliurang.

Dengan mengendarai mobilnya, saya sempat menikmati malam minggu di yogya yang waktu itu masih ramai. Dan tidak tampak bahwa baru terjadi gempa. Di kawasan Malioboro tidak ada bangunan yang runtuh akibat gempa. Hanya Mal Malioboro yang retak-retak dan beberapa kacanya pecah, saat ini sudah buka kembali dan direnovasi.

Alun-alun utara dan selatan masih dipenuhi oleh pengunjung. Di alun-alun utara terdapat 4 buah tenda besar milik Medicine Saint Frontiere. Dan warung-warung lesehan masih buka hingga tengah malam.

Tidak semua kota Yogya terkena gempa, sehingga denyut nadi kehidupan masih berjalan normal. Yang saat ini diperlukan selain bantuan dana untuk membangun rumah – rumah yang hancur karena gempa, tenaga sukarelawan sangat dibutuhkan. Menurut penuturan teman saya, mahasiswa UGM sebagian besar dalam minggu tenang untuk memasuki ujian akhir semester. Beberapa mahasiswa/i UGM sudah diturunkan sebagai relawan bagi pengungsi Merapi di desa Cangkringan.

Ada beberapa kampus yang roboh akibat gempa seperti kampus Sekolah Tinggi Seni Indonesia yang bangunan utamanya roboh dan 3 gedung berlantai 6 tidak bisa digunakan karena retak-retak. Kampus sekolah tinggi ekonomi di jalan kaliurang juga roboh serta sebuah kampus ekonomi di ujung jalan babarsari juga hancur gentengnya dan sebagian bangunannya retak2. Beruntung kampus atmajaya dan bekas kostan saya dibabarsari tidak runtuh karena gempa.

Bersahaja Di Tengah Puing Reruntuhan


Jakarta, 9th June 2006 – Pukul 08.15 pagi itu kereta Taksaka jurusan Jakarta – Yogya mulai meninggalkan stasiun Gambir perlahan-lahan. Sebuah tas ransel gunung dan tiga buah karton besar berisi makanan bayi serta pakaian untuk disumbangkan ke para korban gempa, menemani saya pagi itu. Setelah menepuh perjalanan selama hampir 8 jam, akhirnya saya tiba di stasiun besar kota Yogya tepat pukul 03.48 PM – lebih cepat beberapa menit dari jadwal yang tertera di tiket yaitu pukul 04.00 PM.

Stasiun yang dibangun pada tahun 1886 terlihat masih kokoh, walau ada beberapa keretakan yang terjadi di beberapa bangunan stasiun, cuma tampak tidak terlalu parah. Seteleh menunggu sekitar 15 menit, Adam – salahsatu teman saya yang tinggal di yogya telah tiba. Diluar dugaan, beberapa rekan-rekan sukarelawan dari Hizbut Tahir Jakarta dan Bekasi turut membantu saya membawa tas dan tiga buah kardus besar ke dalam mobil mereka.

Tidak berapa lama, saya telah tiba di tempat teman saya di kawasan panggungharjo, Bantul. Kemudian saya tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada para relawan tersebut yang turut membantu menjemput saya. Suasana desa panggungharjo membuat saya trenyuh, hamper 75% rumah dikawasan tersebut hancur dan rata dengan tanah. Masih ada beberapa rumah yang berdiri, Cuma keadaaanya sangat mengkhawatirkan. Karena keretakan yang terjadi begitu besar, sehingga tidak layak huni.

Sampailah saya di tenda pengungsian berwarna biru dengan ukuran 2 x 5 m, ada tiga buah tenda yang berdiri dan dihuni oleh 25 orang. Mereka begitu hangat menyambut saya, senyuman mereka tidak lupa menerima saya sebagai seorang tamu di tengah puing2 reruntuhan. Dua buah kardus besar yang berisi pakaian layak pakai serta baju bayi, saya bagikan kepada mereka. Dan mereka sangat antusias hingga saya lupa mengabadikan moment tersebut sebagai bukti kepada para donatur sumbangan.

Dan saya sempat miris setelah menyaksikan rumah teman saya – Adam telah rata dengan tanah. Yang tersisa hanya lantai keramik yang masih bisa digunakan untuk tempat lesehan para korban gempa.

Alunan adzan Maghrib mengiringi senja yang telah tiba, secangkir kopi hangat telah disuguhkan oleh ibu-ibu desa tersebut. Beberapa diantaranya mulai mengajak saya ngobrol, satu tas kecil yang berisi makanan ringan dari seorang donatur saya bagikan kepada mereka. Dan makanan ringan tersebut menjadi penggiring percakapan malam itu.

Desa panggungharjo, Bantul telah kehilangan 14 orang dan beberapa luka-luka karena terhimpit tembok bangunan serta furniture. Sebelum gempa terjadi sabtu pagi, jumat malam masyarakat Bantul menyaksikan wayang kulit. Sehingga banyak dari mereka yang begadang dan akhirnya sewaktu gempa terjadi, banyak dari mereka yang begadang meninggal tertimpa bangunan. Tidak lupa orangtua serta anak kecil ada yang tewas tertimpa bangunan, salahsatunya ibu dan anak yang rumahnya hanya berjarak sekitar 10 meter dari tempat saya jagongan (ngobrol) telah tewas.

Mie goreng menjadi menu makan malam saya dan saya merasa sungkan karena telah merepotkan mereka. Dari penuturan mereka, saat ini bantuan logistik berupa indomie serta air mineral sudah cukup sampai akhir bulan. Yang mereka butuhkan adalah dana cash untuk membangun kembali rumah mereka yang hancur akibat gempa. Bahkan bantuan lauk pauk yang konon berjumlah Rp 90,000-/kepala belum juga mereka terima. Apalagi bantuan bangunan yang konon Rp 30jt/rumah, bagi mereka hanyalah sebuah impian belaka. Saat ini mereka masih mempunyai semangat hidup yang tinggi, jangan sampai semangat hidup mereka menurun akibat belum datangnya bantuan dana untuk membangun rumah mereka.

Jumat malam itu, acara pembukaan Piala Dunia 2006 di Jerman menjadi hiburan tersendiri buat mereka. Sambil berada di tenda pengungsian, saya ikut menyaksikan pertandingan Jerman vs Kostarika, padahal selama ini saya paling malas menyaksikan sepakbola di TV. “Buat obat anti stress, Mas !” sahut mereka sambil sesekali menyaksikan pertandingan di TV yang hanya satu-satunya di tenda tersebut. Karena banyak peralatan elektronik mereka yang hancur akibat gempa.