Nama asliku Ong Swee Tio, semenjak 25 tahun terakhir ini aku telah
mengganti namaku menjadi Merry Ong. Saat ini aku hidup berbahagia
dengan suami dan tiga orang anakku yang telah tumbuh dewasa, Christian,
Tristan dan Susan.
Kali ini aku kembali ke kota Lasem, sebuah kota kecil dipantai utara
Jawa Tengah. Memasuki pintu gerbang kota Lasem seakan aku kembali ke
masa 20 tahun yang silam. Masa dimana penuh kebahagiaan dan kepahitan.
Selama 25 tahun terakhir ini, kali ini adalah kali kedua aku
menginjakkan kaki di tempat leluhur dan asal dimana aku dilahirkan.
Semenjak wafatnya Baba dan Mama, aku semakin malas kembali ke kota ini.
Dan hanya kakakku yang membuatku berani kembali ke kota ini.
Menuju perempatan kota Lasem, seakan kota ini berhenti bergerak. Tidak
banyak perubahan yang terjadi di kota ini. Rumah-rumah tua
berarsitektur cina masih tetap bertahan walaupun digerus jaman yang
semakin gila ini.
25 tahun yang lalu,
"Swee...,kamu nggak masuk sekolah hari ini?" panggil mamaku sambil menggedor-gedor pintu kamarku.
Sementara didalam kamar yang terkunci, aku masih dalam keadaan setengah sadar karena rasa kantuk yang masih menghinggap.
"Iya...sebentar lagi," jawabku sambil masih berbaring di atas tempat tidur.
Aku segera bergegas menuju kekamar mandi yang berada di luar kamarku.
Selintas aku melihat Baba sambil duduk dikursi goyang dengan tangan
kiri memegang rokok cerutu kesukaannya.
"Swee...selesai mandi dan berpakaian kamu ke Baba yakh," celoteh Babaku.
"Iya ...Ba," jawabku patuh. Salahsatu kelebihan Babaku, beliau bisa
melihat gerak gerik anaknya tanpa langsung melihatnya. Babaku sangat
galak tapi teramat sangat sayang dengan anak-anaknya. Hal itu
yang membuat kami takut dan menaruh hormat dengan Babaku.
Selepas mandi dan berpakaian, aku menemui Babaku yang kali ini sedang
berhitung menggunakan sempoa kesayangannya sambil melihat buku besar
penjualan batiknya. Kain batik adalah bisnis Babaku dan kehidupan
ekonomi keluarga kami hampir seluruhnya ditunjang dari usaha
pembuatan kain batik tersebut.
"Swee....sehabis pulang dari sekolah, kamu jangan lupa mampir ke rumah
Pak Haji Fikri yakh. Tanyakan sama pak haji, dia mau ambil berapa
kodi?" suruh Babaku sambil dia memainkan jari-jarinya di atas butiran
sempoa.
"Iya...Ba," jawabku.
Tidak lama mamaku menghampiri sambil membawa teh kesukaan Babaku, teh hitam.
"Swee...kamu sudah makan belum?" tanya mamaku.
"Belum ma," jawabku kembali sambil aku masih berdiri dihadapan Baba dan Mama.
"Ya sudah sana kamu makan dulu sebelum brangkat sekolah. Mbok Jun udah
tak suruh masak semur daging kesukaanmu tadi pagi. Sudah sana makan
dulu," suruh Mamaku.
Dan aku mengikuti petunjuk Mamaku sambil meninggalkan mereka berdua. Di
ruang makan yang sangat besar buat keluarga kami, kakakku Suing dan
Sutanto sedang asyik melahap makanannya. Rumah kami sangat besar dengan
luas sekitar hampir 2 hektar, tedpat dua bangunan besar didalamnya,
bangunan utama yang menjadi tempat tinggal kami dan bangunan gudang
yang dijadikan tempat membatik oleh karyawan Baba.
Tembok besar yang mengilingi area rumah kami setinggi hampir 2 meter
dan berwarna putih kapur. Atap rumah kami dihiasi bentuk liong atau
naga besar. Ornamen-ornamen tiongkok sangat terasa menghiasi bangunan
rumah kami. Menurut cerita Baba, rumah keluarga kami hampir berumur 150
tahun dan asal muasal keluarga kami berasal dari Tiongkok.
Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah, aku duduk di bangku kelas 1
SMA negeri lasem. Aku segera bergegas mengambil sepeda di gudang yang
terletak dekat dengan gudang para pembatik Babaku. Pak To, penjaga
setia rumahku yang sudah mengabdi selama hampir 40 tahun segera membuka
pintu gerbang rumahku. Pintu gerbang rumahku cukup besar, tinggi
gerbangnya sendiri sekitar 4 meter dengan lebar hampir 3 meter dan
terbuat dari kayu jati solid dengan sentuhan ornamen tiongkok dan jawa.
Krek...bunyi pintu gerbang.
"Matur nuwun nggeh Pak," ucapku seketika, setelah Pak To membuka
sebagian pintu gerbang rumahku. Aku segera menaiki dan mengayuh sepeda
ontel kesayanganku yang juga buatan Tiongkok.
Menyusuri jalan Babagan seperti menyusuri sebuah labirin, deretan pagar
tinggi dan bercat putih menghiasi suasana kehidupanku pagi itu. Tidak
jauh dari ujung jalan Babagan terdapat klenteng tua, Gie Yong Bio.
Beberapa perempuan peranakan dengan bawahan memakai kain batik lasem
dan baju kebaya terlihat sedang membakar dupa dan beberapa orang
diantaranya sedang memanjatkan doa kedewa - dewi. Aku paling tidak suka
asap hio, yang selalu membuat mataku terasa perih.
SMA 1 Lasem
Setibanya di sekolah, puluhan siswa tampak memasuki pintu
halaman sekolahku yang asri dan beberapa pohon besar menghiasi halaman
muka sekolah. Karena kota Lasem kecil, dengan mudah aku mengenal wajah
mereka satu persatu.
"Swee.... awakmu wis roh kelasmu opo urung (kamu sudah tau kelasmu apa belum)?" sapa temanku, Tan Hwee Liang yang biasa aku panggil Nyo.
"Eh awakmu toh.....belum nih. Aku belum tau di kelas berapa?" jawabku kembali.
"Yuk kita cari kelasnya," ajak Nyo kepadaku.
Sambil memperhatikan papan pengumuman yang ditempel di muka ruang kepala sekolahku, akhirnya kami menemukan juga kelas kami.
"Swee kita sekelas, asyik...!" kata Nyo kepadaku.
Aku tersenyum bahagia, karena Nyo adalah sahabatku dari SD dan rumah
kami tidak berjauhan sehingga yang terlintas di pikiranku saat ini
adalah aku mempunyai teman yang bisa diajak berangkat dan pulang
sekolah bareng.
Kami dengan gembira segera bergegas menuju ke kelas 1A dan memilih
tempat duduk. Hari ini, sekolah terasa begitu menyenangkan. Hari itu
hanya diisi perkenalan, pemilihan ketua kelas dan wakilnya serta guru
kelas kami. Pukul 11.00, sekolah sudah dibubarkan.
Aku dan Nyo menuju tempat penitipan sepeda, uang pecahan Rp 50
sebanyak dua keping segera kami berikan kepada penjaga penitipan sepeda
kami, namanya Pak Dji. Pria peranakan yang sudah berumur hampir 60
tahun dan giginya terlihat ompong sebagian setelah ia tersenyum kepada
kami.
"Swee...kita ke pesisir yuk," ajak Nyo kepadaku sambil mengayuh sepedanya.
"Boleh," jawabku kembali.
Pesisir adalah tempat kesukaan kami, arus bongkar muat dari kapal ke
kuli pelabuhan dengan mudah terlihat. Sementara jauh memandang adalah
laut Jawa yang berwarna biru dan seakan tidak bertepi.
"Nyo..luwe opo ora awakmu?"
"Iya nih....mau cari makan?"
"Boleh ....tapi makan apa yakh?"
"Pecel Mbok Jum,"
"Yo wis ..nggak opo-opo,"
Sambil menuntun sepeda kami menuju warung nasi pecel Mbok Jum yang
terkenal kelezatannya. Satu porsi nasi pecel dengan rempeyeknya hanya
seharga Rp 150 saja.
To be continued
No comments:
Post a Comment