Minggu pagi tanggal 7 Maret 2010, saya sudah menginjakkan kaki disebuah stasiun kecil di Jawa Timur – Kertosono. Tiket Argo Wilis jurusan Surabaya – Bandung sudah saya beli, sambil mengisi waktu saya berkeliling kota dan terbersit ingin pergi kesebuah kota yang memiliki banyak kenangan buat saya, Yogyakarta. Pukul 09.00 WIB kereta sudah tiba diperon dan saya beserta puluhan penumpang lainnya segera beranjak masuk kedalam gerbong yang akan membawa saya kembali ke Bandung.
Dalam perjalanan menuju ke Bandung, ada perasaan yang ingin membawa saya kembali ke kota Yogya dan selama 4 jam saya harus memutuskan hingga saya tertidur. Tiba-tiba saya terbangun disetasiun Solo Balapan, hati ini segera berkata bahwa saya harus ke Yogya siang itu. Tepat pukul 13.00, saya telah tiba di kota Yogya dan keputusan terakhir saya ambil ketika kereta sudah memasuki setasiun Tugu. Hati ini semakin berdegup kencang dan “Ya” adalah kata yang tepat.
Saya segera mengambil tas dan hup….kedua kaki saya sudah menginjakkan disetasiun Tugu. Saya terdiam dan pikiran saya melayang ke tahun 1995 ketika pertama kali saya menginjakkan kaki disetasiun ini bersama-sama teman dari Jakarta. Masih tergiang-giang suara teman-teman yang tertawa girang ketika kami tiba di stasiun Tugu setelah menghabiskan perjalanan selama 12 jam yang melelahkan dari Jakarta.
Peluit panjang membangunkan saya seketika, dan kereta Argo Wilis meninggalkan saya perlahan-lahan…”sampai jumpa di Bandung”! Masih ingat jelas ketika kami tiba dulu distasiun ini, kami harus melewati sebuah terowongan bawah tanah untuk menuju pintu keluar. Saya tersenyum kecil ketika mengingat Elizabeth – teman saya membawa sbeuah koper super besar dan kewalahan membawanya. Kusmulyadi teman saya yang membantunya menarik tas koper super besar itu keatas peron menuju pintu keluar.
Tanpa pikir panjang saya menuju ke loket pembelian tiket untuk membeli rute ke Bandung pada malam hari. Tiket seharga Rp 200,000 jurusan Bandung sudah hangus karena saya turun di kota Yogya.
Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Yogya
Kereta api Lodaya malam kelas bisnis seharga Rp 100,000 sudah saya kantongi, hati ini jadi tenang. Beberapa pengemudi becak menawarkan jasa antar ke penginapan murah di Malioboro dan tanpa berpikir panjang saya segera naik becak. Sudah lama saya tidak naik becak sebuah barang antik saat ini dan tarifnya hanya Rp 5,000 – 10,000 saja. Saya mencari beberapa penginapan murah dan akhirnya mendapatkan sebuah kamar seharga Rp 80,000 dengan fan dan kamar mandi didalam dekat Malioboro.
Tanpa berpikir panjang, setelah menaruh tas saya segera menuju ke Malioboro. Tidak afdol rasanya kalau belum mengunjungi magnet wisata dikota ini. Sebuah kaki lima terpanjang di Indonesia dan berbagai macam barang serta manusia dari berbagai macam ras bisa kita temui ditempat ini.
Dipersimpangan jalan, kakiku berhenti
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera
Kali ini syaa menjad turis lokal backpacker alias berkantong cekak, Mal Maliboro masih sama seperti 15 tahun yang lalu. Café Olala dan Mc Donald masih bertahan dan menarik pengunjung untuk datang. Dulu sebelum kami kembali ke Jakarta, kaos Dagadu dijual dimal ini. Dan setiap akhir pekan, mal ini selalu ramai karena tidak ada pilihan lainnya. Diskotik Basement dihotel Maliboro merupakan tempat kuliah malam saya bersama teman-teman disetiap akhir pekan. Tiket masuknya hanya Rp 10,000 saja dan sudah termasuk first drink, diskotik itu paling hips dijamannya. Saya hanya tersenyum ketika mengenangnya dan berdiri sejenak didepan parkiran hotel tersebut.
Saya meneruskan perjalanan ke sisi selatan dan menuju ke depan gedung Bank Indonesia, almamater sekolahku Marsudirini serta ke perempatan gondomanan dengan kelentengnya yang sudah cukup tua. Gang Sayidan begitu anak-anak Yogya menyebutnya dan terkenal berkat group local Shaggy Dog
Wo….coba kawan kau dengar ku punya cerita
Tempat biasaku berbagi rasa
Suka duka tinggi bersama
Di gang gelap, dibalik ramainya Yogya
Mari…sini..berkumpul kawan
Dansa …..dansa…sambil tertawa
Bila kau datang dari selatan
Langsung saja menuju Gondomanan
Belok kanan sebelum perempatan
Teman-teman riang menunggu di Sayidan
Gang ini masih sama seperti dahulu ketika kami pertama kali sampai di kota Yogya.
Dirumah mbahnya Donny kami tinggal pertama kali sebelum mendapatkan kamar kostan, sebuah rumah kecil ala Jawa bercat hijau muda, tegel jadul dan teralis vintage dengan 3 buah kamar. Satu kamar ditempati oleh Mbahnya Donny, kami yang pria tidur diruang tamu dan yang wanita dalam kamar yang lain. Selama hampir seminggu kami tinggal dikawasan ini, gangnya cukup berliku dan sedikit penerangan diwaktu malam tetapi kawasan ini cukup bersih dengan Kali Code diujung gang ini.
Semuanya masih sama ketika saya berkunjung ditahun 2010 ini, yang berubah hanya beberapa rumah saja dan sebuah bangunan kastil yang selalu saya cintai arsitekturnya kini seperti rumah hantu. Dulu saya masih bisa mendengar jemaat gereja melantunkan kidung disetiap minggu pagi dan terpampang jadwal misa gereja. Kini rumah itu tidak berpenghuni dan kono karena ada sengketa diantara keluarga besar sipemiliki rumah kastil itu. Saya masih belum diberi waktu untuk memasuki rumah yang begitu indah dengan patung Jesus raksasa diatap balkonnya. Saya hanya bisa menghela nafas dan berharap suatu hari nanti bisa memasuki rumah kastil tersebut sebelum hancur dimakan usia.
Di sayidan, dijalanan
Angkat sekali lagi gelasmu kawan
Di sayidan, dijalanan
Tuangkan air perdamaian
Dan kali ini saya meninggalkan gang yang penuh kenangan tersebut, saya angkat gelas untukmu Gang Sayidan…..
Kaki saya membawa setiap langkah ini hingga kegerbang istana Keraton Yogyakarta, alun-alun utara tampak gersang kerana rumputnya habis diinjak-injak pengunjung sekatenan yang telah selesai beberapa hari yang lalu. Pukul 15.00, keraton telah tutup dan saya kembali naik becak minta diantarkan kepasar burung Ngasem – pasar burung tertua di kota ini.
Tamansari – tempat pemandian para raja Jawa menjadi tempat pemberhentian selanjutnya tapi kali ini saya masuk melalui pasar burung yang dibangun tahun 1809 ini. Seorang bapak tua menawarkan jasa menjadi guide dan hati ini nelongso rasanya kalau menolak tawaran bapak tua. Saya tersenyum dan beliau mengantarkan saya memasuki jalan tua yang masih sama dan tentu saja saya masih sangat hafal. Tamansari sudah tutup dan sekali lagi saya diajak ketempat yang sama melalui jalan belakang dan sedikit naik kepagar belakang taman sari yang tampak sangat terawat semenjak mendapatkan bantuan dari luar negeri.
Tembok belakang taman sari masih sangat kokoh walau terkena gempa ditahun 2006 yang lalu. Setelah berfoto dikawasan Taman Sari, saya memberikan uang tanda jasa sebagai guide kepada bapak tua itu. Rasa lapar membawa saya untuk menikmati hidangan siomay berbagai macam rasa mulai dari siomay isi udang hingga cumi dengan harga yang sangat murah.
Pukul 17.00 saya sudah kembali ke motel dan beristirahat sejenak sambil menunggu boncengan dari sahabat lama menuju ke Babarsari.
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, ditengah deru kotamu
Sambil naik motor, saya menikmati kota Yogya dan ingatan saya kembali ditahun 1995…
Ketika saya sedang suntuk, Bayu sahabat saya menjadi satu-satunya obat pelipur lara
Meminjam motornya, saya berkeliling kota hingga dini hari
Menikmati kota Yogya dimalam hari merupakan hiburan tersendiri bagi saya
Jalan Babarsari, disinilah saya indekost tepat disamping kampus Atmajaya gedung baru
Ada 20 kamar dikostan ini tapi hanya 19 kamar yang disewakan
Entah mengapa selalu disisakan 1 kamar oleh si empunya kost
Kami menyewa 2 kamar kost, satu untuk menaruh baju dan tas
Satu lagi untuk kami tiduri dan tarifnya sangat murah sekali hanya Rp 75,000/bulan
Kami mendapatkan kamar dilantai satu dan setiap bulan mamaku selalu mengirimi uang sebesar Rp 200,000/bulan melalui wesel pos yang bisa saya sambil dikantor pos terdekat. Maklum tehnologi ATM dulu masih jarang dan hanya orang The Haves yang bisa memiliki ATM.
Saya, Kusmul, Agus dan Donny tidur sekamar dengan alas kasur busa dan tikar dengan bantal dan guling seadanya. Tapi koq bisa tidur pulas ya dan kami selalu menikmati, setiap sore teman-teman wanita berkunjung dan membawakan bekal makan. Kalau bosan, pecel lele seharga Rp 1500 depan kantor pos Babarsari menjadi makanan yang sangat lezat. Disaat kantong cekak, nasi goreng arang depan kampus Atmajaya gedung lama seharga Rp 1,500 menjadi pilihan lain karena isinya cukup banyak dan mengenyangkan untuk kantung mahasiswa seperti kami.
Pagi hari, warung si Mbok menjadi langganan saya dan kini rumahnya sudah hilang berganti menjadi tempat foto kopi. Si Mbok sangat baik sekali, mungkin beliau tahu saya seorang mahasiswa berkantong cekak sehingga harga makanannya pun sangat murah. Kalau dapat kiriman uang dari Mama, baru saya bisa makan enak dikantin mahasiswa yang nasinya bisa ambil sendiri dan lauknya daging, total hanya seharga Rp 3,000 saja dan sudah sangat mengeyangkan.
Saya kembali berdiri didepan kostan yang masih berdiri, berbagai rasa bercampur menjadi satu melihat jalanan disekitar Babarsari yang sangat ramai. Sawah menjadi kost-kostan dan bahkan Circle K sudah ada. Tahun 1995, masih banyak sawah dan cukup seram hingga pernah kami dikejar anjing kampung setelah pulang apel dimalam minggu. Maklum kostan di Yogya dibedakan antara pria dan wanita.
Walau beberapa teman sempat nekat naik tembok disaat subuh demi menginap dirumah sang pacar agar tidak ketahuan dipemilik kostan. Setiap bulan sehabis menerima kiriman, kami selalu jalan ketempat wisata di kota ini. Kawasan Kaliurang dan Bebeng menjadi pilihan utama, selain cukup dekat dan berhawa sejuk serta dimalam hari bisa melihat kerlap kerlip lampu kota Yogya dimalam hari dari atas gunung. Tentu saja sangat romantis sambil mengajak di Doi (istilah jadul banget) dan membelikannya kembang edelwies yang banyak dijual dan menikmati jagung bakar…arghh.
Pantai Parangtritis sebuah kenangan yang tidak terlupakan ketika beberapa teman mengajak saya ikutan jalan naik motor dan diiming-imingi banyak ceweknya dimalam minggu. Setibanya disana ternyata tidak ramai, beberapa gubuk dipinggir pantai berdiri tegak dan seorang penyewa tikar menawarkan tikarnya. Teman saya menyewa 3 tikar dan kami berenam tiduran dipinggir pantai hingga subuh. Sialan….saya dikerjai karena tidak ada apa-apanya yang ada hanya seram karena deru ombak pantai selatan yang ganas dan mitos Ratu Pantai Selatan. Sementara yang lain tertidur pulas, saya malah tidak bisa tidur karena alasnya hanya tikar dan bawahnya dari pasir laut serta udara pantai yang dingin, tapi taburan bintang diangkasa sangat indah sekali.
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, ditengah deru kotamu
Rasa lapar karena merindukan nasi goreng yang dimasak diatas anglo dengan arangnya menjadi menu utama dan pengamen jalanan mulai beraksi. Hmm….waktu saya sangat terbatas dikota ini. Rasa kangen belum tuntas dan masih banyak tempat yang belum saya sambangi.
Walau kini kau tlah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkanlah aku untuk selalu pulang lagi
Pukul 21.00 dan saya harus bergegas menuju ke setasiun Tugu Yogyakarta..
Pendar lampu jalanan masih menyala terang
Bau tanah sehabis hujan memberikan nuansa sendiri malam itu
Bila hati mulai sepi tanpa terobati
Walau kini engkau telah tiada ….tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Senyummu abadi, abadi…………
Saya kembali duduk diperon sambil menunggu kereta Lodaya malam menjemput saya
Termenung kembali ketika terakhir kali akan meninggalkan kota ini….
Kata seorang sahabat dalam suratnya kepadaku,
“Aku menangis ketika melihatmu dalam kereta yang membawamu pergi,
Tak kuasa rasanya ingin memelukmu terakhir kali,
Kali ini saja dan kuselalu berdoa agar kita bisa bertemu kembali”.
Kota ini selalu menghadirkan senyum tersendiri buat saya dan pilihanku untuk menginjakkan kaki dikota ini selama beberapa jam saja memang tepat. Rasa kangen sedikit terobati…
Dalam kereta menuju Bandung, saya habiskan hanya untuk tidur hingga pukul 05.30 WIB saya kembali tiba disetasiun kota Bandung.
Seperti mimpi rasanya…mimpi yang menjadi kenyataan…
Izinkanlah aku selalu untuk pulang lagi, selalu pulang lagi
To Yogya With Love, March 7th 2010
saya selalu suka foto bangunan bangunan di jogja. .
ReplyDeleteme 2 ...love the city and its heritage
ReplyDeleteyang ini emang jadul hihihi
ReplyDeletelike dis :D
ReplyDeletesaya baru sekali ke yogya, tapi langsung jatuh hati pengen balik lagi dan lagi :)
ReplyDeleteemang yogya punya magnet sendiri selain bali....kalau yogya auranya membumi dan waktu berjalan dengan lambat sedangkan bali auranya pengen liburan terus....
ReplyDelete