Calon Arang merupakan tokoh dalam cerita rakyat Jawa dan Bali. Berdasarkan kalendar Saka, Calon Arang adalah legenda yang ditulis pada 1462.
Mengisahkan kehidupan Dayu Datu, perempuan dari Desa Girah, desa pesisir yang termasuk wilayah Kerajaan Kediri (dahulu bernama Daha). Dayu Datu kerap dipanggil dengan sebutan Rangda Nateng Girah, yang artinya Rangda adalah janda, Nateng adalah penguasa, dan Girah adalah nama desa asalnya. Jadi, arti sebutannya adalah Janda Penguasa dari Desa Girah. Dayu Datu, selain dikenal dengan nama Rangda Nateng Girah, juga punya nama julukan lain, yaitu Calon Arang.
Perempuan ini adalah Ratu Leak yang sakti. Ia memiliki anak perempuan yang digambarkan cantik jelita. Namanya, Diah Ratna Mengali. Meski cantik, tidak ada satu lelaki pun yang berminat menikahinya. Sudah bisa ditebak, semua lelaki lebih baik menghindar dan memilih tidak berurusan langsung dengan Calon Arang. Satu hal lagi, masyarakat Daha berpendapat, Diah Ratna Mengali juga memiliki kemampuan meleak, mewarisi ilmu ibunya.
Kesendirian Diah Ratna Mengali membuat Calon Arang terusik. Ditambah perkataan seisi Daha, Calon Arang semakin tersinggung. Walhasil, Calon Arang bersama para muridnya menyerang Daha dengan gerubug, yaitu wabah penyakit yang sulit diobati.
Legenda Calon Arang bisa dibilang salah satu legenda Indonesia yang menyeramkan. Tapi, ia tetap hidup dalam kehidupan orang Indonesia melalui banyak kelahiran kembali. Salah satu sastrawan yang menulis kembali legenda negeri Daha ini adalah Pramoedya Ananta Toer.
Selain melalui karya tulis, legenda Calon Arang juga kerap dihidupkan kembali melalui pentas tari dan teater. Untuk pementasan di Bentara Budaya Jakarta, Calon Arang hadir dalam bentuk pentas tari. Judul pementasan ini adalah Calonarang: Ketundung Ratna Mengali.
Sanggar Gita Lestari adalah kelompok tari yang akan memanggungkan Calon Arang. Mereka adalah kelompok yang berasal dari Banjar Petak, Desa Petak Kaja, Gianyar, Bali. Sanggar yang sudah berdiri sejak 1995 ini dipimpin oleh Anak Agung Gede Putrayasa yang aktif dalam seni tari dan gamelan. Soal perjalanan kreatif mereka, Sanggar Gita Lestari sudah beberapa kali diundang pentas di beberapa negara, seperti Korea, India, dan Swiss.
Dan malam itu, suasana magic sudah terasa ketika pembukaan dimulai. Tiba-tiba ada angin kencang diatas panggung dan setelah pandita membacakan doa, semuanya berlalu dan pertunjukkan pun berjalan dengan lancar.
Teater Calonarang diduga muncul pada tahun 1825 pada zaman kejayaaan dinasti kerajaan Klungkung. Lakonnya bersumber dari cerita semi sejarah dengan seting kejadian pada abad XI, zaman pemerintahan Airlangga di Jawa Timur. Dalam wujudnya sebagai seni pertunjukan Bali, disamping tetap mengacu kepada sastra sumbernya, terjadi pula mengembangan dan penyimpangan. Misalnya muncul tokoh penting yang disebut Rangda yang merupakan siluman Calonarang dalam wujud yang menakutkan. Padahal yang dimaksud rangda dalam sastra sumber adalah janda—Calonarang adalah seorang janda sakti dari Dirah.
Sudah lazim dalam konsep kreativitas seniman Bali yang menjadikan sastra sumber sebagai bingkai intrinsik saja. Implementasi dan transformasi tata pentasnya dicangkokkan dengan pola-pola, idiom-idiom, atau kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam seni pertunjukan tradisional Bali. Namun dalam teater Calonarang, yang selalu bahkan harus ditonjolkan, adalah sub-tema sihirnya yang disebut leak tadi.
Adalah Antonin Artaud, seorang dramawan terkemuka Prancis, sempat sangat terpesona dengan drama tari Calonarang. Ceritanya pada tahun 1931, Artaud dan para pekerja seni pertunjukan di Eropa sempat digemparkan pementasan Calonarang oleh para seniman Bali yang dipimpin oleh Cokorda Gede Raka Sukawati di arena Paris Colonial Exhibition. Karya Artaud seperti No More Master Sieces dan The Theatre and Plague dikenal kental bernuansa drama tari Calonarang. Seorang koreografer terkenal Indonesia, Sardono W. Kusumo, juga pernah menggarap drama tari Calonarang dengan tajuk Dongeng dari Dirah.
Kajian ilmiah menyangkut teater Calonarang juga cukup banyak, baik hasil penelitian para sarjana asing maupun Indonesia sendiri. Beryl de Zoete & Walter Spies dalam bukunya Dance and Drama in Bali (1931), Urs Ramseyer dalam The Art and Culture of Bali (1977), Soedarsono dalam Jawa dan Bali, Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia (1972), I Made Bandem & Fredrik deBoer dengan Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition (1981), dan lain-lainnya mengupas dan menempatkan drama tari Calonarang sebagai the drama of magic.
Sub tema sihir memang selalu ditonjolkan dalam teater Calonarang. Di tengah arena panggung ditancapkan gedang renteng di depan sebuah tingga. Gedang renteng adalah sejenis pepaya yang buahnya bertangkai panjang—asosiasi buah dada menggelayut nenek sihir Calonarang. Dibawah pohon itulah Calonarang dalam wujud Rangda mengangkang dan menjerit-jerit memamerkan kesaktiannya. Sedangkan tingga adalah sejenis rumah panggung yang dibuat agak tinggi di sisi arena yang merupakan simbol sarang si janda Dirah. Di rumah panggung inilah Pandung, patih andalan Raja Airlangga, bergumul menancapkan kerisnya bertubi-tubi ke tubuh Calonarang yang trance yang membuat penonton tampak tegang.
Adegan yang membuat penonton bergidik adalah saat mengisahkan akibat teror ilmu hitam Calonarang pada rakyat Airlangga. Di tengah panggung ditampilkan adegan madusang-dusangan (memandikan mayat). Orang yang jadi mayat-mayatan dimandikan dan diupacarai lengkap dengan sesajennya seperti orang mati sesungguhnya di Bali. Sementara madusang-dusangan ini berlangsung, muncul gangguan leak, makhluk jadi-jadian para anak buah Calonarang. Adegan yang menyeramkan ini mengkili-kili nyali penonton.
Dan saya masih ingat ketika berkunjung kerumah kerabat di Puri Sukawati ketika Galungan, Ibu teman saya mengatakan agar malam itu menyaksikan tarian Calonarang untuk memperingati puri Sukawati yg masih dalam kerabat dengan kerajaan Gianyar, Bali. Seketika saya diberitahu agar jangan pulang dahulu sebelum sendratari berakhir karena leak bisa mengikuti kita. Seperti kita ketahui leak adalah bentuk wujud dari roh halus yang membahayakan dan ditakuti karena menghisap darah. Dan biasanya bisa kita jumpai ketika seseorang di aben (kremasi) maka setra atau kuburan akan didatangi oleh para leak. Dan tidak jarang leak berwujud bola api dari kejauhan dan pernah saya jumpai dipinggir pantai sanur malam hari.
Mistik bagi masyarakat Bali adalah bagian dalam kehidupan mereka. Percaya atau tidak, tarian ini memang sakral dan bertujuan untuk membersihkan sesuatu dari hal yang buruk.
No comments:
Post a Comment