Pukul 09.30 pagi, perjalanan dimulai dengan menyusuri pasar Ben Than, pasar yang dibangun tahun 1912 ini oleh penjajah Perancis mengingatkan saya akan pasar Beringharjo di Yogya atau pasar Klewer di Solo. Desain pasarnya pun mirip buatan arsitek Belanda terkenal yaitu Thomas Karsten, salahsatu arsitek favorit saya. Beliau membuat pasar yang sesuai dengan keadaan di Jawa dan beriklim tropis. Sama seperti pasar Ben Than, walau hanya 1 lantai tetapi memiliki atap yang cukup tinggi sehingga membuat sirkulasi udara cukup baik. Berada didalam pasr Ben Than, saya seperti di Yogyakarta, para pedagang saling berhimpitan di losnya dan terkadang mereka menarik tangan kita untuk menjajakan daganganya. Pagi ini dilalui tanpa berbelanja mengingat kami harus city tour.
City Tour yang ditawarkan dihotel seharga 325.000 DNV atau setara Rp 162,500/orang dan tidak termasuk uang masuk serta minum selama perjalanan, jadi cukup mahal bagi kami. Setelah melihat peta jalan di Saigon yang kami dapatkan di bandara, alhasil kami menyusuri jalanan di Saigon pagi hari.
Dari pasar Ben Than kami hanya perlu jalan lurus menuju ke gedung Committe Hall alias Balai Kota, sepanjang jalan kota Saigon dipenuhi pohon mahoni yang sudah berusia puluhan tahun dan sangat rindang. Senang rasanya melihat sebuah kota yang penuh dengan pohon-pohon besar menjulang tinggi dan memberikan keteduhan bagi pejalan kakinya. Saya iri dengan kota saigon, mengingatkan saya dengan kota Bandung sebelum ada jalan layang Pasteur. Jalan layang pasteur dulunya dipenuhi pohon-pohon besar yang rimbun. Kini hanyalah panas yang menerpa disiang hari...Pedestrian di Saigon pun bisa dinikmati oleh penyandang cacat, khususnya tuna netra. Ada semacam line khusus bagi tuna netra. Dan ternyata ada jalan Pasteur dikota Saigon, wah serasa dikota Bandung tempo dulu rasanya...
Kami berempat tiba dihotel de ville de Saigon yang kini beralih fungsu menjadi Balai Kota Saigon, bangunan antik khas Perancis ini sangat lah cantik. Taman luas didepannya menjadi tempat berfoto bagi para wisatawan dan tentunya sebuah patung Paman Ho Chi Minh yang disakralkan. Hingga kini masih ada karangan bunga dibawah patung beliau. Taman dikota Saigon sangatlah terawat dengan beberapa tanaman bonsai yang cantik....argh seandainya Jakarta memiliki taman seperti ini. Dan yang tidak kalah terasa adalah nuansa kapitalis dinegri komunis ini. Patung Paman Ho Chi Minh dikelilingi bangunan modern serta butik mewah kelas dunia mulai dari Bally hingga Louis Vuitton yang tentu saja tidak sejalan dengan ajaran komunisme dimasanya...tapi kata alm. Deng Xioping di China...tidaklah salah untuk menjadi kaya. Dan kini raksasa komunis seperti Cina dan Russia sudah dilanda kapitalisme dan konsumerisme oleh warganya. Semangat boleh komunis tetapi kebutuhan tetap lah tinggi akan barang2 mewah....
Gedung Opera, salahsatu gedung tua diujung taman untuk konser musik atau drama yang dibangun oleh penjajah Perancis, tepat disampingnya berdiri Hotel Intercontinenal Saigon...sebuah hotel tua tempat tetirah para kompeni Perancis yang sangat megandrungi seni bernilai tinggi dan segala sesuatunya yang mewah. Bangunan hotelnya pun gabungan antara art deco serta renaisance. Disepanjang jalan banyak terdapat galeri seni, dan lukisannya bagus dan tentu dengan harga yang mahal sampe dipatok dengan USD - untuk harga turis. Sehingga saya sendiri tidak berani menawarnya, takut ngggak cukup uangnya...hehehe.
Tepat disebelah kanan gereja terdapat Kantor Pos Pusat Saigon, gedung tua bernuansa renaisance ini dibangun pada abad ke 19 untuk memenuhi kebutuhan warga Perancis dan Saigon berkirim surat atau melalui kawat telegraf. Lantainya yang klasik mengingatkan saya pada bangunan tua dikota Semarang. Didalam kantor pos ini, saya bisa menghubungi mama di Jakarta melalui layanan wartel. Biayanya cukup murah, hanya 6.000 DNV untuk sekali telpon ke HP mama di Jakarta. Karena saya tidak membeli sim card Vietnam seperti di Bangkok waktu itu. Maklum dibandara tidak ada informasi penjualan sim card HP untuk blackberry seperti di Bangkok cukup dengan 299 Bhat bisa berlangganan BB selama 3 hari.
Jam 13.00 waktu Saigon, kami meneruskan perjalanan ke Istana reunifikasi yang berhalaman luas. Tiket masuknya seharga 30,000 DNV atau setara Rp 15,000/pax dan pengunjung tidak harus memakai busana formal seperti ketika memasuki istana di Indonesia atau negara lain. Disini turis asing dengan celana pendek atau kaos tank top pun bebas memasuki istana ini. Puluhan pengunjung lokal dan beberapa turis asing mengikuti penjelasan dari tour guide yang sangat informatif. Setiap sisi ruangan istana dijabarkan fungsi dan sejarahnya. istana dengan 4 tingkat ini berdesain art deco dan bahkan hampir mirip dengan bangunan Aldiron plaza, ex bangunan mabes TNI AU di Pancoran. Tidak secantik istana di Indonesia....Dari tingkat atas istana, kita bisa melihat kota Saigon yang dipenuhi dengan gedung-gedung tinggi dan taman kota yang hijau. Koq saya jadi teringat salahsatu bangunan dikota ya...yaitu gedung BNI 46 tempat dulu saya les LIA dan sering blusukan keruangan didalamnya yang sangat luas dan berbau tempo dulu...arghh...
Selesai berwisata ke istana, dilanjutkan perjalanan menuju ke museum perang. Ketika dijalan kami hendak membeli kelapa muda dan dikenakan harga 50,000 DNV perkelapa alias kami ditipu. Ah tak apalah, bagi2 rejeki...sama siabang pembawa kelapa muda.
Jarak dari istana ke museum tidaklah terlalu jauh, hanya sekitar 10-15 menit perjalanan saja. War Remnants Museum adalah sebuah monumen perang yang menyimpan berbagai cerita perang vietnam yang memilukan. Harga tiket masuknya hanya 15,000 DNV alias Rp 7,500/pax saja...cukup murah. Bangunan berlantai 3 ini dipenuhi turis asing.
Lantai 1 diisini mengenai propaganda perang antara vietnam utara yang komunis dan vietnam selatan yang republiken dan didukung oleh US. Lantai 2 berisikan dokumen fotografi dari 134 wartawan dari 11 negara yang terbunuh selama perang 10.000 hari di Vietnam. Kisah sedih pembunuhan dan lain sebagainya bisa ditemukan di bagian fotografer dari Jepang.
2 jam hampir kami habiskan dimuseum ini, dilantai satu kita bisa membeli barang-barang hasil kerajinan para penderita cacat akibat perang. Dari museum ini kami kembali ke hotel dengan naik taxi seharga 35,000 DNV.
wuih kotanya tampak bersih ya
ReplyDeletekotanya lumayan bersih..tapi pengendara motornya gokilsss
ReplyDelete