Kotagede, 11 Juni 2006 – pagi itu perjalanan saya dimulai ke arah kotagede, situs keraton mataram pertama kali yang dibangun oleh Panembahan Senopati – Raja pertama Mataram yang beragama Islam. Kawasan kotagede juga tidak luput dari gempa, beberapa bangunan ditopang oleh tiang agar tidak roboh. Dan juga kawasan gang-gang sempit yang menjadi sentra industri kerajinan logam perak juga ikut hancur.
Memasuki areal masjid raya Kotagede, tampak terlihat tembok-tembok kokoh yang mengelilingi areal masjid roboh. Bisa dibayangkan kekuatan gempa yang bisa merobohkan tembok masjid yang terkenal kokoh. Tetapi masjidnya sendiri hanya terkelpas temboknya dan didalam areal masjid masih sangat kokoh. Hal ini mungkin terjadi karena arsitektur local masjid yang sebagian terdiri dari kayu. Atap masjid dibuat dari kayu jati dengan ditopang oleh 4 sokoguru (tiang peyangga) dan dengan kekuatan tangan Tuhan YME masjid kotagede masih berdiri kokoh.
Dihalaman belakang masjid ini terdapat makam Panembahan Senopati, tampak para peziarah memberikan sesaji dan meminta berkah. Disampingnya terdapat sebuah kolam dgn sumber air yang tidak pernah kering walau musim kemarau dan didalam kolam tersebut dihuni oleh lele putih raksasa yang konon tidak pernah mati dari dulu dan beberapa ikan lainnya yg juga berukuran besar.
Selepas dari Kotagede, saya meneruskan perjalanan ke arah Prambanan. Beberapa candi seperti Kalasan juga dilanda kerusakan akibat gempa. Candi Prambanan baru saja dibuka untuk pengunjung Cuma dilarang masuk ke dalam areal candi, karena ditakutkan ada gempa susulan dan tertimpa batu candi. Batu – batu candi prambanan tampak berserakan dan masih belum tahu kapan akan direnovasi.
Karena panas yang menerpa dan perut saya yang sudah lapar, saya berinisiatif menuju ke kawasan Kaliurang. Dengan memotong jalan melalui jalur Kalasan – Pakem – Kaliurang, saya menyempatkan diri makan siang di Moro Lejer. Salah satu resto favorit saya. Ternyata hujan abu vulkanik Merapi telah membuat mata saya pedas dan jaket warna hitam menjadi berwarna abu-abu.
Moro Lejer berada di kaki gunung Merapi, dengan menu ikan wader goreng serta sayur lodehnya menjadi santapan favorite. Setelah selesai makan, hembusan angin gunung yang sejuk serta gemericik air sungai membuat kantuk segera menghampiri saya. Hampir 30 menit saya sempat tertidur pulas.
Perjalanan dilanjutkan menuju kearah Malioboro dan sore itu masih tampak ramai.oleh para wisatawan local dan mancanegara yang hendak window shopping. Dibelakang benteng Vrandenburg, terdapat sebuah taman Pintar, sebuah gedung yang dirancang sebagai pusat high technology dan taman bacaan. Gedung BI yang berwarna putih dan tampak megah, sedang direnovasi.
Segera saya menuju ke sebuah gang kecil, gang Sayidan namanya. Berlokasi di depan perempatan patung petruk dan dekat sekolah Marsudirini. Gereja gang sayidan, begitu saya sebut namanya, mempunyai arsitektur yang unik. Dengan ujung atap menara seperti Katedral Jakarta dan sebuah patung Yesus dengan tangan terbuka, menyita perhatian saya. Sayang sore itu, saya tidak bisa memasuki areal dalam gereja. Bangunan gereja ini dibuat abad ke 18 dgn gaya Neo Gothic dan dengan detail yang sangat indah.
Beberapa gereja di Yogya juga mengalami kerusakan, terutama di bagian genting dan atap yang hancur dan juga temboknya yang retak-retak. Tapi tetap tidak mengurangi jemaat Nasrani untuk mengikuti ibadah misa mingguan.
Selepas itu, saya segera menuju cake shop untuk membeli sesuatu agar bisa dibagikan kepada para pengungsi. Saya mencoba untuk merayakan ultah saya secara sederhana. Kesederhanaan kali ini mengiringi ultah saya, tiket Jakarta – Bali yang sudah saya pesan jauh-jauh hari terpaksa hangus. Selepas sholat Isya, saya segera membagikan kue yang beli tadi kepada para pengungsi. Ucapan terimakasih dan diiringi senyuman yang tulus dari para pengungsi menjadi sebuah kado yang manis buat saya malam itu.
Dengan ditemani secangkir kopi hangat, bulan purnama yang indah serta para pengungsi yang saya anggap sebagai saudara, menjadi berkah tersendiri buat saya.
No comments:
Post a Comment