Sunday, June 18, 2006
Bersahaja Di Tengah Puing Reruntuhan
Jakarta, 9th June 2006 – Pukul 08.15 pagi itu kereta Taksaka jurusan Jakarta – Yogya mulai meninggalkan stasiun Gambir perlahan-lahan. Sebuah tas ransel gunung dan tiga buah karton besar berisi makanan bayi serta pakaian untuk disumbangkan ke para korban gempa, menemani saya pagi itu. Setelah menepuh perjalanan selama hampir 8 jam, akhirnya saya tiba di stasiun besar kota Yogya tepat pukul 03.48 PM – lebih cepat beberapa menit dari jadwal yang tertera di tiket yaitu pukul 04.00 PM.
Stasiun yang dibangun pada tahun 1886 terlihat masih kokoh, walau ada beberapa keretakan yang terjadi di beberapa bangunan stasiun, cuma tampak tidak terlalu parah. Seteleh menunggu sekitar 15 menit, Adam – salahsatu teman saya yang tinggal di yogya telah tiba. Diluar dugaan, beberapa rekan-rekan sukarelawan dari Hizbut Tahir Jakarta dan Bekasi turut membantu saya membawa tas dan tiga buah kardus besar ke dalam mobil mereka.
Tidak berapa lama, saya telah tiba di tempat teman saya di kawasan panggungharjo, Bantul. Kemudian saya tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada para relawan tersebut yang turut membantu menjemput saya. Suasana desa panggungharjo membuat saya trenyuh, hamper 75% rumah dikawasan tersebut hancur dan rata dengan tanah. Masih ada beberapa rumah yang berdiri, Cuma keadaaanya sangat mengkhawatirkan. Karena keretakan yang terjadi begitu besar, sehingga tidak layak huni.
Sampailah saya di tenda pengungsian berwarna biru dengan ukuran 2 x 5 m, ada tiga buah tenda yang berdiri dan dihuni oleh 25 orang. Mereka begitu hangat menyambut saya, senyuman mereka tidak lupa menerima saya sebagai seorang tamu di tengah puing2 reruntuhan. Dua buah kardus besar yang berisi pakaian layak pakai serta baju bayi, saya bagikan kepada mereka. Dan mereka sangat antusias hingga saya lupa mengabadikan moment tersebut sebagai bukti kepada para donatur sumbangan.
Dan saya sempat miris setelah menyaksikan rumah teman saya – Adam telah rata dengan tanah. Yang tersisa hanya lantai keramik yang masih bisa digunakan untuk tempat lesehan para korban gempa.
Alunan adzan Maghrib mengiringi senja yang telah tiba, secangkir kopi hangat telah disuguhkan oleh ibu-ibu desa tersebut. Beberapa diantaranya mulai mengajak saya ngobrol, satu tas kecil yang berisi makanan ringan dari seorang donatur saya bagikan kepada mereka. Dan makanan ringan tersebut menjadi penggiring percakapan malam itu.
Desa panggungharjo, Bantul telah kehilangan 14 orang dan beberapa luka-luka karena terhimpit tembok bangunan serta furniture. Sebelum gempa terjadi sabtu pagi, jumat malam masyarakat Bantul menyaksikan wayang kulit. Sehingga banyak dari mereka yang begadang dan akhirnya sewaktu gempa terjadi, banyak dari mereka yang begadang meninggal tertimpa bangunan. Tidak lupa orangtua serta anak kecil ada yang tewas tertimpa bangunan, salahsatunya ibu dan anak yang rumahnya hanya berjarak sekitar 10 meter dari tempat saya jagongan (ngobrol) telah tewas.
Mie goreng menjadi menu makan malam saya dan saya merasa sungkan karena telah merepotkan mereka. Dari penuturan mereka, saat ini bantuan logistik berupa indomie serta air mineral sudah cukup sampai akhir bulan. Yang mereka butuhkan adalah dana cash untuk membangun kembali rumah mereka yang hancur akibat gempa. Bahkan bantuan lauk pauk yang konon berjumlah Rp 90,000-/kepala belum juga mereka terima. Apalagi bantuan bangunan yang konon Rp 30jt/rumah, bagi mereka hanyalah sebuah impian belaka. Saat ini mereka masih mempunyai semangat hidup yang tinggi, jangan sampai semangat hidup mereka menurun akibat belum datangnya bantuan dana untuk membangun rumah mereka.
Jumat malam itu, acara pembukaan Piala Dunia 2006 di Jerman menjadi hiburan tersendiri buat mereka. Sambil berada di tenda pengungsian, saya ikut menyaksikan pertandingan Jerman vs Kostarika, padahal selama ini saya paling malas menyaksikan sepakbola di TV. “Buat obat anti stress, Mas !” sahut mereka sambil sesekali menyaksikan pertandingan di TV yang hanya satu-satunya di tenda tersebut. Karena banyak peralatan elektronik mereka yang hancur akibat gempa.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Sad but great story... semoga mereka diberikan ketabahan.
ReplyDeletewow....mereka sangat tabah.....beda bangets waktu bawa bantuan sehabis tsunami di Aceh dengan korban gempa di Yogya. Para korban gempa di Yogya saling bantu membantu membangun rumah yang hancur.....they're all great people. I mizz them already...udah setahun nggak mengunjungi mereka lagi
ReplyDeletedua kali ke jogja emang berasa bersahaja banget kota itu. gak ada kesan2 metronya, masih penuh dengan tradisi. bahkan dengar lagu "Jogjakarta" aja kita sudah dapat gambaran kota itu. aku pasti ksana lagi.
ReplyDelete