Tuesday, July 11, 2006

GADIS - 3rd Chapter



Malam minggu, aku janji menemani Dani untuk pergi bersamanya menonton film di TIM (Taman Ismail Marzuki). Waktu sudah menunjukkan pukul 18.45, tidak lama kemudian Mamaku memanggil.

“Dis…..temanmu datang!” teriak mamaku.

Aku segera bergegas keluar kamar dan menemui Dani diserambi rumahku.
“Yuk kita pergi sekarang,” pintaku.

“Ma….gadis pamit dulu yakh,” tukasku.
Dan mama keluar dari kamarnya, “Nanti pulang jam berapa?” Tanya mamaku.

“Jam 11…Ma,” jawabku.
“Yakh sudah jangan malam-malam, hati-hati di jalan yakh!” pesan mamaku.

“Assalamualaikum,” tukasku.
“Walaikumsalam,” jawab mamaku.

“Mari Tante…,” tukas Dani.
Dan mamaku tersenyum simpul.

Didalam mobil, Dani sempat bertanya,”kamu sudah makan?”
“Sudah….kamu?” jawabku.

“Belum….tadi belum sempat takut macet. Mau makan?” pintanya.
“Aku temenin kamu makan aja yakh…..khan aku udah makan tadi!” jawabku.

Akhirnya kami memutuskan makan bubur ayam cikini salahsatu makanan kesukaanku. Setelah menikmati satu mangkok bubur ayam cikini, kami bergegas menuju bioskop 21 yang malam minggu itu cukup ramai penonton.

Entah mengapa, memasuki ruang bioskop TIM 2 hatiku berdegup kencang. Mungkin ini karena kencan pertamaku dengan Dani.

Selama hampir 2 jam kami berdua menikmati pemutaran film “Eifell I am in love”. Dani sempat memegang salah satu tanganku malam itu dan membuat jantungku berdegup dengan hebat. Ah…aku jadi salah tingkah.

Sesampainya dirumahku, aku masih tersenyum-senyum di depan cermin kamarku. Am I in love? Tanyaku dalam hati.


“KRINGGGGGGGGGGG…………”, bunyi bel sekolahku yang cukup mengagetkan tapi membuat hatiku senang.

“Dis………..”, sebuah suara memanggilku dan ternyata Nina sahabatku.
“Gimana kencannya tadi malam, Dis?” Tanya Nina menggodaku.

“err….biasa aja sikh!” jawabku.
“Masak sikh………tapi koq muka kamu merah gitu!” balas Nina.
“Ih kamu jahat………”jawabku dengan malu.

Nina sahabatku dari bangku SMU kelas 1, dia yang selalu menjadi teman curhatku selama ini. Satu hal yang aku suka darinya, walau dia anak orang berada tapi tidak sombong. Pak Burhan, supir keluarga Nina sudah menunggu kami dihalaman depan sekolahku dan kali ini saya menumpang sampai di perempatan Slipi.

Tuesday, July 4, 2006

Gadis - Bab 2


Siang ini adalah hari pertamaku mengajar dan pengemis cilik itu adalah murid pertamaku. Bertempat di pojokan stasiun KA Tanah Abang, ruang sempit berdinding triplek dengan ukuran 4 x 3 meter adalah ruang kelasku.

Semenjak mengambil studi lapangan dari sekolahku, aku tertarik untuk mengajar anak-anak kurang mampu. Dengan seijin kepala stasiun KA Tanah Abang, aku diperbolehkan menggunakan ruangan sempit itu. Dengan bermodal papan tulis, kapur dan beralaskan tikar, aku mencoba untuk membagi ilmu.

Kami berdua memasuki ruang kelasku dan aku membuka jendela agar udara segar masuk. Setelah menebar kain tikar diatas lantai ubin, kemudian aku membuka tas sekolahku. Satu persatu kuambil dari dalam tas, sekotak kapur tulis dan penghapusnya, beberapa buah pulpen dan beberapa buku tulis serta dua buah jeruk sun kist yang aku ambil dari rumah.

“Ini pulpen dan buku tulis buat Lo” sambil kuserahkan
ke muridku yang pertama, si pengemis cilik itu dan ia
menerimanya dengan senang hati.

“Dan ini jeruk buat Lo” kataku.

Kami berdua mengupas dan memakan jeruk itu.
“Lo tau berapa harga satu jeruk ini” tanyaku.
“Tau....seribu perak sebiji” jawab si pengemis cilik itu.
“Lo tau cara nulis angka 1000?” tanyaku.
“Kagak....”jawabnya lugas.

Aku tersenyum mendengarnya dan segera aku mengambil sebatang kapur tulis serta menuliskan bilangan angka 1000 di papan tulis.

“Nah kalo nulis kata-kata JERUK, Lo tau ?” tanyaku kepada si pengemis cilik itu.
“Kagak tau…”jawabnya dengan lugas.

Dan kembali aku menuliskan huruf J E R U K di papan tulis. Kemudian aku duduk kembali dan bertanya “Gw kagak tau nama Lo”.

“Nama gw SARI” jawabnya.
“Makasih Sari...nama gw GADIS. Tapi teman-teman disekolah biasa manggil gw ADIS” sambil aku menuliskan huruf ADIS dan SARI di papan tulis.

Kali ini, aku mengambil sebuah buku komik Donald Bebek kegemaranku dari dalam tas sekolah dan memberikannya ke Sari, pengemis cilik itu.

“Suatu hari nanti, Lo akan bisa membaca apa isi cerita komik itu” tukasku.
“Tapi Lo harus belajar membaca dulu biar bisa tau apa isi ceritanya” tegasku lagi.

Dan aku segera mengarahkan pandangannya ke sebuah kumpulan abjad dari A-Z yang tertempel di dinding ruang kelasku. Dan satu persatu aku ajarkan abjad-abjad itu dan cara melafalkannya.

Tanpa kusadari sudah dua jam berlalu.
“Sari....hari sudah sore, kita pulang dulu yakh dan
besok siang kita ketemu lagi disini” pintaku.

Dan pengemis cilik itu menganggukkan kepala tanda setuju.

Kami berdua segera meninggalkan ruang kelas dan perpisah di ujung jalan keluar stasiun KA Tanah Abang.

Hari demi hari sudah aku lewati, kini muridku bertambah dua orang. Inay, gadis cilik berumur sekitar 8 tahun anak Bu Suminah, penjual nasi pecel di stasiun KA Tanah Abang. Panjul, bocah berumur sekitar 11 tahun, seorang pengamen di kereta api jurusan Tanah Abang-Serpong.

Tiba-tiba sebuah keributan kecil terjadi didalam kelas.
“Anjing Lo....balikin pulpen gw” makian kasar itu memecah konsentrasiku tiba-tiba.

“Ada apa Inay ?” tanyaku kembali.
“Panjul....Kak Adis......dia ngambil pulpen saya” jawab Inay dengan tegas.

“Panjul....ayo balikin pulpen Inay !” pintaku.
“Huh...ngadu aja Lo bisanya....neh !” sambil melempar pulpen itu kearah Inay.

“Pulpen kamu kemana Panjul ?” tanyaku kembali.

Panjul terdiam sejenak dan berkata “Hilang Kak !”
“Ya udah...ini kakak kasih lagi...tapi kamu jangan ganggu yang lain yakh kalau kakak sedang mengajar” pintaku dengan tegas.

Dan aku segera mengambil pulpen dari dalam tas sekolahku dan memberikannya ke Panjul.

Tapi tiba-tiba Panjul berdiri dan segera berlari keluar meninggalkanku.
“Panjul....mau kemana kamu ?” tanyaku.

Aku lari keluar dan menghampirinya.
“Panjul....mau kemana kamu?” tanyaku sambil berlari.

Ia terus berjalan menelusuri rel kereta api dan tidak menjawab pertanyaanku.

Setelah berhasil mengejarnya, aku bertanya ,“Panjul........kamu mau kemana ?”
Di hadapannya aku kembali berkata “Panjul....Kak Adis nggak marah sama kamu”

“Bohong !” jawabnya dengan lantang.
“Panjul Kak Adis nggak bohong.....buat apa Kak Adis bohong” jawabku dengan yakin.

“Kak Adis nggak mau kamu mengganggu yang lain hanya karena pulpen kamu hilang, kamu bisa bilang sama kakak khan !” kataku.

“Kalau pulpen kamu hilang....kamu bisa minta lagi...Kak Adis masih ada kok di tas” jawabku meyakinkannya.

“Percaya dekh sama kakak....Kak Adis nggak marah....Kak Adis hanya mau kamu bisa membaca dan belajar dengan baik” jawabku.

Panjul tersenyum simpul dan kami berdua berjalan kembali menelusuri rel kereta api menuju ke ruang kelasku. Lega rasanya bisa menyakinkan Panjul untuk
kembali belajar.

Kehidupan di jalanan memanglah keras, kepercayaan sangatlah mahal harganya. Dan aku belajar meyakinkan mereka untuk mempercayaiku sebagai sahabat mereka.

TBC

Monday, July 3, 2006

Gadis


Sabtu siang, cuaca sangat panas menyengat. Tak lama
aku turun dari bis Patas Mayasari Bakti jurusan Grogol
yang penuh sesak itu. Lalulintas perempatan Slipi
sangat ramai siang itu.

Aku berhenti sejenak di trotoar jalan sambil
menunggu lampu lalulintas berganti. Kemudian
kusebrangi perempatan jalan itu.

Seorang pengemis cilik berdiri di kolong jembatan
layang telah mengundang perhatianku. Aku tak mengenalnya sama sekali dan
aku menghampiri serta menyapanya.

“Lo mau sekolah ?” begitu pertanyaan pertama yang
terlontar dari mulutku.
“Napah ?” jawab si pengemis cilik itu dengan ketus
dan tanpa melihat wajahku.
“Gue mau ngajarin Lo” jawabku segera.
“Bohong !” jawabnya segera.
“Kalau nggak percaya, besok kita ketemu disini lagi
jam 11” jawabku sambil tersenyum simpul.

Esok hari aku datang lagi ke tempat yang sama, di kolong
jembatan layang Slipi sesuai janjiku dengan pengemis
cilik itu. 15 menit sudah berlalu dan aku masih
menunggu dengan sabar sambil memandangi jalan
didepanku.

Tak lama, pengemis cilik itu tampak di
seberang jalan dan segera menghampiriku.
Sambil tersenyum aku menemuinya.
“Dimana Lo mau ngajar gue ?” tanya pengemis cilik itu dengan raut muka yang dingin.

Aku segera membuka tasku dan mengeluarkan sesuatu.
“Ini buat Lo, keramas yakh !” sambil aku memberikan
sebotol shampoo yang tadi aku beli. Dengan wajah keheranan ia menerima pemberianku.

“Dan yang ini coklat buat Lo” tukasku
“Ada obatnya nggak ?” tanya pengemis cilik itu dengan
curiga.

“Percaya dekh sama gue, buat apa gue ngasih Lo obat,
emang gue BD” jawabku dengan tegas.

Tak lama, pengemis cilik itu segera membuka bungkus
coklat yang aku berikan tadi dan memakannya dengan
lahap.
“Gue balik dulu yakh” pintaku.
“Woi.....kapan Lo ngajar gue ?” tanyanya dengan
serius.

“Lo keramas dulu yang bersih, nanti 2 hari lagi kita
ketemuan di sini !” jawabku
“Ah....tai Lo !” jawabnya dengan ketus dan segera
pergi meninggalkanku.

Di sekolah, selasa siang bel berbunyi. Aku segera
membereskan buku tulisku dan memasukkannya ke dalam
tas.

Suasana di sekolah yang ramai tak aku hiraukan, dan
aku terus melangkah menuju pintu keluar sekolahku.
Dan tiba-tiba aku mendengar suara yang memanggilku.
“Gadis...gadis....” bunyi suara itu.

Aku segera mencari asal suara itu dan ternyata Dani
temanku sekelas.
“Mau kemana kamu Dis, koq buru-buru banget” tanyanya.
“Oh aku ada urusan, jadi harus buru-buru pulang”
jawabku.

“Mau kuantar, Dis ?” pintanya.
“Makasih aku bisa naik angkot koq” jawabku.
“Kalau mau bareng, kebetulan aku lagi bawa motor hari ini”
jawabnya lagi.
“Ah ndak usahlah, khan kamu nggak bawa helm dua”
tukasku.
“Oh kebetulan aku bawa helm dua hari ini, karena tadi
pagi adikku ikut” jawabnya.

Aku bingung harus jawab bagaimana, tapi yakh sudahlah
aku harus sampai di Slipi siang itu. Dan akhirnya aku
menyetujui untuk naik motor dengan Dani.

“Dis....kamu tadi ngerti nggak yang diajarkan Pak
Burhan tadi ?” tanya Dani kepadaku sambil membawa motornya.
“Tentang apa ?” tanyaku kembali.
“Logaritma” jawabnya.
“Memang kamu belum ngerti yakh” tanyaku.
“Apa?...nggak dengar !” jawabnya dengan suara lantang.
“Kamu belum ngerti yakh” jawabku dengan suara keras.
“Iya tadi aku lagi nggak konsen di kelas” jawabnya
kembali. Dan Dani segera menanyakan apakah aku bersedia
mengajarinya. Dan aku terdiam sejenak, entah apa yang ingin aku
jawab.

“Yakh sudah nanti kalau ada waktu di kelas, aku akan
ajarin kamu yakh” jawabku.

Kemudian kami telah sampai di perempatan slipi.
Setelah aku turun dan melepas helm, kami berdua segera
berpisah. Tak lupa aku mengucapkan terimakasih dan dia
memberikan senyuman kepadaku. Ah, sebuah senyuman yang
manis.

Dari jauh kulihat, pengemis kecil itu belum terlihat.
Aku segera mencari tempat makan, karena sudah mulai
lapar.

Ah ada tukang batagor pikirku, lumayan untuk
mengganjal perutku yang sudah mulai keroncongan.

Setelah makan batagor yang lumayan enak, aku segera
bergegas menuju ke kolong jembatan layang Slipi.
Kulihat si pengemis cilik itu sudah menungguku.
“Maaf yakh gw baru sampe, tadi makan dulu” jawabku.
“Dimana Lo mau ngajar gw ?” tanya si pengemis cilik
itu.

“Yakh udah Lo ikut gw sekarang” jawabku.
Kami berdua segera berjalan menyeberangi jalan dan
naik angkot menuju ke rumahku.
Tidak berapa lama, kami sampai di depan jalan menuju
ke rumahku.
Kami berjalan berdua.

“Lo dah makan belom ?” tanyaku.
“Belom, kenapa ?” jawabnya.
“Yakh udah nanti makan dulu yakh” jawabku.
“gw kagak ada duit neh” jawabnya.
“Udah nanti gw bayarin” jawabku segera.

TO BE CONTINUED