Tuesday, July 4, 2006

Gadis - Bab 2


Siang ini adalah hari pertamaku mengajar dan pengemis cilik itu adalah murid pertamaku. Bertempat di pojokan stasiun KA Tanah Abang, ruang sempit berdinding triplek dengan ukuran 4 x 3 meter adalah ruang kelasku.

Semenjak mengambil studi lapangan dari sekolahku, aku tertarik untuk mengajar anak-anak kurang mampu. Dengan seijin kepala stasiun KA Tanah Abang, aku diperbolehkan menggunakan ruangan sempit itu. Dengan bermodal papan tulis, kapur dan beralaskan tikar, aku mencoba untuk membagi ilmu.

Kami berdua memasuki ruang kelasku dan aku membuka jendela agar udara segar masuk. Setelah menebar kain tikar diatas lantai ubin, kemudian aku membuka tas sekolahku. Satu persatu kuambil dari dalam tas, sekotak kapur tulis dan penghapusnya, beberapa buah pulpen dan beberapa buku tulis serta dua buah jeruk sun kist yang aku ambil dari rumah.

“Ini pulpen dan buku tulis buat Lo” sambil kuserahkan
ke muridku yang pertama, si pengemis cilik itu dan ia
menerimanya dengan senang hati.

“Dan ini jeruk buat Lo” kataku.

Kami berdua mengupas dan memakan jeruk itu.
“Lo tau berapa harga satu jeruk ini” tanyaku.
“Tau....seribu perak sebiji” jawab si pengemis cilik itu.
“Lo tau cara nulis angka 1000?” tanyaku.
“Kagak....”jawabnya lugas.

Aku tersenyum mendengarnya dan segera aku mengambil sebatang kapur tulis serta menuliskan bilangan angka 1000 di papan tulis.

“Nah kalo nulis kata-kata JERUK, Lo tau ?” tanyaku kepada si pengemis cilik itu.
“Kagak tau…”jawabnya dengan lugas.

Dan kembali aku menuliskan huruf J E R U K di papan tulis. Kemudian aku duduk kembali dan bertanya “Gw kagak tau nama Lo”.

“Nama gw SARI” jawabnya.
“Makasih Sari...nama gw GADIS. Tapi teman-teman disekolah biasa manggil gw ADIS” sambil aku menuliskan huruf ADIS dan SARI di papan tulis.

Kali ini, aku mengambil sebuah buku komik Donald Bebek kegemaranku dari dalam tas sekolah dan memberikannya ke Sari, pengemis cilik itu.

“Suatu hari nanti, Lo akan bisa membaca apa isi cerita komik itu” tukasku.
“Tapi Lo harus belajar membaca dulu biar bisa tau apa isi ceritanya” tegasku lagi.

Dan aku segera mengarahkan pandangannya ke sebuah kumpulan abjad dari A-Z yang tertempel di dinding ruang kelasku. Dan satu persatu aku ajarkan abjad-abjad itu dan cara melafalkannya.

Tanpa kusadari sudah dua jam berlalu.
“Sari....hari sudah sore, kita pulang dulu yakh dan
besok siang kita ketemu lagi disini” pintaku.

Dan pengemis cilik itu menganggukkan kepala tanda setuju.

Kami berdua segera meninggalkan ruang kelas dan perpisah di ujung jalan keluar stasiun KA Tanah Abang.

Hari demi hari sudah aku lewati, kini muridku bertambah dua orang. Inay, gadis cilik berumur sekitar 8 tahun anak Bu Suminah, penjual nasi pecel di stasiun KA Tanah Abang. Panjul, bocah berumur sekitar 11 tahun, seorang pengamen di kereta api jurusan Tanah Abang-Serpong.

Tiba-tiba sebuah keributan kecil terjadi didalam kelas.
“Anjing Lo....balikin pulpen gw” makian kasar itu memecah konsentrasiku tiba-tiba.

“Ada apa Inay ?” tanyaku kembali.
“Panjul....Kak Adis......dia ngambil pulpen saya” jawab Inay dengan tegas.

“Panjul....ayo balikin pulpen Inay !” pintaku.
“Huh...ngadu aja Lo bisanya....neh !” sambil melempar pulpen itu kearah Inay.

“Pulpen kamu kemana Panjul ?” tanyaku kembali.

Panjul terdiam sejenak dan berkata “Hilang Kak !”
“Ya udah...ini kakak kasih lagi...tapi kamu jangan ganggu yang lain yakh kalau kakak sedang mengajar” pintaku dengan tegas.

Dan aku segera mengambil pulpen dari dalam tas sekolahku dan memberikannya ke Panjul.

Tapi tiba-tiba Panjul berdiri dan segera berlari keluar meninggalkanku.
“Panjul....mau kemana kamu ?” tanyaku.

Aku lari keluar dan menghampirinya.
“Panjul....mau kemana kamu?” tanyaku sambil berlari.

Ia terus berjalan menelusuri rel kereta api dan tidak menjawab pertanyaanku.

Setelah berhasil mengejarnya, aku bertanya ,“Panjul........kamu mau kemana ?”
Di hadapannya aku kembali berkata “Panjul....Kak Adis nggak marah sama kamu”

“Bohong !” jawabnya dengan lantang.
“Panjul Kak Adis nggak bohong.....buat apa Kak Adis bohong” jawabku dengan yakin.

“Kak Adis nggak mau kamu mengganggu yang lain hanya karena pulpen kamu hilang, kamu bisa bilang sama kakak khan !” kataku.

“Kalau pulpen kamu hilang....kamu bisa minta lagi...Kak Adis masih ada kok di tas” jawabku meyakinkannya.

“Percaya dekh sama kakak....Kak Adis nggak marah....Kak Adis hanya mau kamu bisa membaca dan belajar dengan baik” jawabku.

Panjul tersenyum simpul dan kami berdua berjalan kembali menelusuri rel kereta api menuju ke ruang kelasku. Lega rasanya bisa menyakinkan Panjul untuk
kembali belajar.

Kehidupan di jalanan memanglah keras, kepercayaan sangatlah mahal harganya. Dan aku belajar meyakinkan mereka untuk mempercayaiku sebagai sahabat mereka.

TBC

No comments:

Post a Comment