Tuesday, July 20, 2010

Istana Kegelapan




Sudah 9 tahun ini aku tidak pernah menapaki Istana, istana yang dulu terlihat megah dan mentereng karena dibuat oleh bahan-bahan yang paling bagus dijamannya. Bercat putih dan taman yang luas, lampu gantung impor, lantai marmer kelas satu serta perabotan dari kayu jati serta permadani dari Persia.

Aku masih ingat ketika Ibu membawaku berjalan-jalan disepanjang istana tersebut. Taman dan air mancur serta pohon pelindung yang berada disekitar istana membuatku merasa nyaman.

Setiap sore beberapa tetangga dan bahkan masyarakat sekitar sering masuk dan bermain dihalaman istana, bahkan mereka sering menghabiskan sore hari direrumputan hijau istana sambil menikmati kicauan burung yang hinggap direrimbunan pohon.

Hingga kami sekeluarga pindah dari istana tersebut karena masa kontrak kami sudah selesai, saat ini kami tinggal disebuah rumah sederhana dipinggiran kota. Karena harga tanah yang semakin melambung membuat kami tidak bisa tinggal ditengah kota.

Siang itu aku melihat dua janda veteran sedang duduk terdiam didepan istana, raut muram wajah mereka seperti hendak menceritakan seribu keluh kesah yang tidak mungkin diungkap dengan kata-kata. Kata-kata meeka sudah habis ketika dimeja peradilan, air mata mereka sudah mengering semenjak mereka dikeluarkan dari rumah secara paksa. Aku sendiri berdiri terdiam dari jarak 3 meter dari dua wanita renta tersebut. Kami saling bertatapan dan sesekali wanita itu menyeka kening mereka dari peluh akibat panasnya kota.

Ingin sekali aku membukakan pintu istana untuk mereka dan mengajak kedua wanita renta itu untuk duduk diberanda istana yang asri sambil memberi mereka secangkir teh hangat sebagai obat dahaga. Aku ingin mengajak mereka bicara dari hati ke hati, mendengarkan keluh kesah mereka tentang istana mereka yang sudah lenyap ditelan angkara murka. Dan kalau Bapak sudah datang, aku ingin membujuk Bapakku untuk memberikan mereka sedikit lahan untuk dibangun sebuah istana kecil untuk tempat mereka berteduh. Mereka juga pejuang veteran seperti Bapakku dan sangat besar sekali kemungkinan Bapakku membantu mereka.

Tapi apalah daya, Bapakku tidak sehebat dulu. Kami sudah menjadi rakyat biasa dan bahkan tanah Bapak di kawasan Kelapa Gading sebagai hadiah untuk veteran perang Irian Barat sudah disulap menjadi kawasan bisnis, mal dan bahkan gedung apartemen superblok yang menjulang tinggi tanpa sepeser uang penggantian. Bapak sudah tidak berdaya...

Dikemudian hari, aku melewati istana dan kali ini aku melihat seorang ibu dengan anaknya yang sedang berdiri diistana. Wajah dan kulit mereka terkelupas akibat ledakan sebuah tabung udara dan konon tabung gas untuk memasak. Sekali lagi mereka tidak bisa masuk keistana dan tidak bisa bertemu dengan Sang Tuan Rumah. Beberapa penjaga melarang mereka masuk dengan berbagai macam alasan, sementara si anak menangis sambil menahan sakit akibat kulitnya yang terkelupas.

Oh Tuhan, ingin rasanya aku sekali lagi membuka pintu halaman istana dan mengajak mereka masuk. Mamaku pasti akan membantu mereka dengan memanggil dokter istana yang berjaga 24 jam untuk menyembuhkan mereka. Mamaku seorang wanita yang gampang luluh disaat melihat mereka yang kesusahan. Tidak heran apabila beberapa tetangga sering meminta bantuan apabila sedang kesusahan. Disaat mereka sembuh, mereka sering membawakan pisang goreng, makanan kecil kesukaan kami.

Dulu istana begitu hidup, kami hidup berdampingan satu sama lain dan saling bantu membantu dengan segenap kemampuan kami. Kini istana tersebut begitu angkuh dan terasa semakin gelap walau sorotan cahaya lampu menambah indahnya istana tersebut dimalam hari.

“Mau kemana kamu?” hardik seorang pria tegap yang berdiri didepanku.

Arghh ternyata kaki kanan saya melewati garis putih didepan pagar istana, alhasil saya dilarang maju dan disuruh mundur selangkah dibelakang garis putih tersebut. Dan ternyata istana kini diberi jarak agar tidak sembarangan orang boleh masuk dan duduk-duduk ditamannya yang asri diwaktu sore.

Hilang sudah istana yang dulu begitu indah, istana semua rakyat, istana itu kini hanya sebuah bentuk bangunan masif yang begitu angkuh. Ah sudahlah, aku sudah tinggal diistana sesungguhnya bersama Bapak dan Mama yang sedang menungguku saat ini.

Selamat tinggal Istanaku, panggil aku apabila engkau sudah membuka kembali pintu pagarmu dan membuka kembali halamannya untuk kami....

No comments:

Post a Comment