Sunday, April 26, 2009

GADIS

Siang ini adalah hari pertamaku mengajar dan pengemis cilik itu adalah murid pertamaku. Bertempat di pojokan stasiun Kereta Api Tanah Abang, ruang sempit berdinding triplek dengan ukuran 4 x 3 meter adalah ruang kelasku.

 

Semenjak mengambil studi lapangan dari sekolahku, aku tertarik untuk mengajar anak-anak kurang mampu. Dengan seijin kepala stasiun KA Tanah Abang, aku diperbolehkan menggunakan ruangan sempit itu. Dengan bermodal papan tulis, kapur dan beralaskan tikar, serta beberapa buah buku pelajaran yang aku beli bekas dari tukang buku dipasar Senen, aku mencoba untuk membagi ilmu bagi anak jalanan.

Kami berdua memasuki ruang kelas dan sesaat aku membuka jendela agar udara segar masuk.  Setelah menebar kain tikar diatas lantai ubin, kemudian aku membuka tas sekolahku. Satu persatu kuambil dari dalam tas, sekotak kapur tulis dan penghapusnya, beberapa buah pulpen dan beberapa buku tulis serta dua buah jeruk sun kist yang aku ambil dari rumah.

“Ini pulpen dan buku tulis buat Lo” sambil kuserahkan ke muridku yang pertama, si pengemis cilik itu dan ia menerimanya dengan senang hati.


“Dan ini jeruk buat Lo” kataku.

Kami berdua mengupas dan memakan jeruk itu.
“Lo tau berapa harga satu jeruk ini” tanyaku.
“Tau....seribu perak sebiji” jawab si pengemis cilik itu.
“Lo tau cara nulis angka 1000?” tanyaku kembali.
“Kagak....”jawabnya lugas.

Aku tersenyum mendengarnya dan segera aku mengambil sebatang kapur tulis serta menuliskan bilangan angka 1000 di papan tulis.


“Nah kalo nulis kata-kata JERUK, Lo tau ?” tanyaku kepada si pengemis cilik itu.
“Kagak tau…”jawabnya dengan lugas.


Dan kembali aku menuliskan huruf J E R U K di papan tulis. Kemudian aku duduk kembali dan bertanya “Gw kagak tau nama Lo”.


“Nama gw SARI” jawabnya.
“Makasih Sari...nama gw GADIS. Tapi teman-teman disekolah biasa manggil gw ADIS” sambil aku menuliskan huruf ADIS dan SARI di papan tulis.

 

Dijalanan, mereka tidak mengenal bahasa Indonesia yang baik, seperti yang diajarkan oleh Bapak dan Ibu Guru disekolahku. Mereka hanya mengerti elu atau elo untuk kamu dan gue untuk saya. Dan aku harus mengikuti permainan mereka agar tidak terjadi gap, tapi suatu saat nanti mereka bisa berbicara serta menulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Kali ini, aku mengambil sebuah buku komik Donald Bebek kegemaranku dari dalam tas sekolah dan memberikannya ke Sari, pengemis cilik itu.


“Suatu hari nanti, Lo akan bisa membaca apa isi cerita komik itu” tukasku.
“Tapi Lo harus belajar membaca dulu biar bisa tau apa isi ceritanya” tegasku lagi.

Dan aku segera mengarahkan pandangannya ke sebuah kumpulan abjad dari A-Z yang tertempel di dinding ruang kelasku. Dan satu persatu aku ajarkan abjad-abjad itu dan cara melafalkannya dengan baik.

Tanpa kusadari sudah dua jam berlalu.

 

“Sari....hari sudah sore, kita pulang dulu yakh dan besok siang kita ketemu lagi disini” pintaku.

 

Dan pengemis cilik itu menganggukkan kepala tanda setuju.


Kami berdua segera meninggalkan ruang kelas dan berpisah di ujung jalan keluar stasiun KA Tanah Abang.

Hari demi hari sudah aku lewati, kini muridku bertambah dua orang. Inay, gadis cilik berumur sekitar 8 tahun anak Bu Suminah, penjual nasi pecel di stasiun KA Tanah Abang. Panjul, bocah berumur sekitar 11 tahun, seorang pengamen di kereta api jurusan Tanah Abang-Serpong.

 

Tiba-tiba sebuah keributan kecil terjadi didalam kelas.
“Anjing Lu....balikin pulpen gw”, makian kasar itu memecah konsentrasiku tiba-tiba.


Ada apa Inay ?” tanyaku kembali.
“Panjul....Kak Adis......dia ngambil pulpen saya” jawab Inay dengan tegas.


“Panjul....ayo balikin pulpen Inay !” pintaku, memang sulit mengajar anak jalanan dan kesabaran adalah kata kuncinya.


“Huh...ngadu aja Lu bisanya....neh !”, Panjul melemparkan pulpen itu kearah Inay.


“Pulpen kamu kemana Panjul ?” tanyaku kembali.
Panjul terdiam sejenak dan berkata “Hilang Kak !”

 
“Ya sudah...ini kakak kasih lagi...tapi kamu jangan ganggu yang lain yakh, kalau kakak sedang mengajar”, pintaku sambil mengelus kepala Panjul.

Dan aku segera mengambil pulpen dari dalam tas sekolahku dan memberikannya ke Panjul.

Tapi tiba-tiba Panjul berdiri dan segera berlari keluar meninggalkanku.
“Panjul....mau kemana kamu ?” tanyaku sambil berdiri.


Aku lari keluar dan menghampirinya.


“Panjul....mau kemana kamu?” tanyaku sambil berlari.

Ia terus berjalan menelusuri rel kereta api dan tidak menjawab pertanyaanku.


Setelah berhasil mengejarnya, aku bertanya ,“Panjul........kamu mau kemana ?”
“Panjul....Kak Adis nggak marah sama kamu”

“Bohong !” jawabnya dengan lantang.
“Panjul,  Kak Adis nggak bohong.....buat apa Kak Adis bohong. Bohong itu dosa” , jawabku meyakinkannya.


“Kak Adis nggak mau kamu mengganggu yang lain hanya karena pulpen kamu hilang, kamu bisa bilang sama kakak khan! Kak Adis masih punya beberapa pulpen didalam tas. Yuk…kak Adis tunjukin”,  rayuku.

 

Panjul masih belum beranjak dari tempatnya.


“Hmm…Kalau pulpen kamu hilang....kamu bisa minta lagi...Kak Adis masih ada kok di tas”, jawabku meyakinkannya sambil tersenyum.


“Percaya dekh sama kakak....Kak Adis nggak marah....Kak Adis hanya mau kamu bisa membaca dan belajar dengan baik. Biar suatu hari nanti kamu bisa jadi orang pintar dan sukses,” kataku lagi.

Panjul tersenyum simpul dan kami berdua berjalan kembali menelusuri rel kereta api menuju ke ruang kelas. Lega rasanya bisa menyakinkan Panjul untuk kembali belajar.

Kehidupan di jalanan memanglah keras, kepercayaan sangatlah mahal harganya. Dan aku belajar meyakinkan mereka untuk mempercayaiku sebagai sahabat mereka.


 

Semakin hari anak muridku bertambah, ruangan kelas yang hanya berukuran 4 x 3 m semakin bertambah sempit.

 

Nina, teman satu kelasku turut membantu kali ini.  Selepas sholat Azhar, kami berdua mengakhiri kelas. Saya, Nina, Sari serta panjul berjalan menelusuri rel kereta api tanah abang.

 

Di peron Tanah Abang, segerombolan anak-anak muda sedang nongkrong sambil membawa gitar.

 

“Ssssuiiiittt…….cewek …..sombong yakh!”, goda mereka.

Kami tetap berjalan dan Sari menunjukkan wajah melawan kepada mereka sambil mengacungkan tanda FxxK kepada mereka.

 

“Sari……udah cuekin aja,” pintaku.

 

Salahsatu dari mereka berdiri dan menghadang kami di peron.

“Cewek…..boleh kenalan nggak?” pinta anak muda itu.

 

“Apaan sikh Lu……gw mau lewat tau!” jawab Sari ketus.

“Diem Lu anak kecil…!” jawab pemuda itu dengan kasar…

 

“Boleh kenalan nggak?” pinta anak muda itu lagi.

 

Nina menggenggam tanganku bahu tanganku dengan erat, dan kali ini aku mencoba untuk bersabar dan menunjukkan keberanian.

 

“Tenang aja…..kami nggak jahat koq, Cuma mau kenalan aja, boleh khan?” pintanya sekali lagi.

 

“Boleh koq….!” Jawabku.

 

“Namaku…..Gadis!” sambil menjulurkan tanganku.

 

“Saya Rahmat…”jawab pemuda itu.

 

“Kalau yang disebelahnya siapa?” tanya pemuda itu lagi.

 

Nina semakin erat menggenggam bahu tanganku. “Oh ini Nina temanku.”

 

 

Akhirnya kami dipersilahkan melanjutkan perjalanan pulang setelah melewati segerombolan pemuda-pemuda itu. Kami berpisah dengan Panjul dan Sari.

 

Malam minggu, aku janji menemani Dani untuk pergi bersamanya menonton film di TIM (Taman Ismail Marzuki). Waktu sudah menunjukkan pukul 18.45, tidak lama kemudian mamaku memanggil.

 

“Dis…..temanmu datang!” teriak mamaku.

 

Aku segera bergegas keluar kamar dan menemui Dani diserambi rumahku.

“Yuk kita pergi sekarang,” pintaku.

 

“Ma….Adis pamit dulu yakh,” tukasku.

Dan mama keluar dari kamarnya, “Nanti pulang jam berapa?” tanya mamaku.

 

“Jam 11…Ma!”

“Yakh sudah jangan malam-malam, hati-hati di jalan yakh!” pesan mamaku.

 

“Assalamualaikum,” tukasku.

“Walaikumsalam,” jawab mamaku.

 

“Mari Tante…,” tukas Dani.

Dan mamaku tersenyum simpul.

 

Didalam mobil, Dani sempat bertanya,”Kamu sudah makan?”

“Sudah….kamu?” jawabku.

 

“Belum….tadi belum sempat takut macet. Mau makan?” pintanya.

“Aku temenin kamu makan aja yakh…..khan aku udah makan tadi!” jawabku.

 

Akhirnya kami memutuskan makan bubur ayam cikini salahsatu makanan kesukaanku. Setelah menikmati satu mangkok bubur ayam cikini, kami bergegas menuju bioskop 21 yang malam minggu itu cukup ramai penonton.

 

Entah mengapa, memasuki ruang bioskop TIM 2 hatiku berdegup kencang. Mungkin ini karena kencan pertamaku dengan Dani.

 

Selama hampir 2 jam kami berdua menikmati pemutaran film “Eifell I am in love”. Dani sempat memegang salahsatu tanganku malam itu dan membuat jantungku berdegup dengan hebat. Ah…aku jadi salah tingkah.

 

Sesampainya dirumahku, aku masih tersenyum-senyum di depan cermin kamarku. Am I in love? tanyaku dalam hati.

 

“Kriiingggggggggggggg………….”, bunyi bel sekolahku yang cukup mengagetkan tapi membuat hatiku senang.

 

“Dis………..”, sebuah suara memanggilku dan ternyata Nina sahabatku.

“Gimana kencannya tadi malam, Dis?” Tanya Nina menggodaku.

 

“Err….biasa aja sikh!” jawabku tersipu malu.

“Masak sikh………tapi koq muka kamu merah gitu!” balas Nina.

“Ih kamu jahat………”, jawabku dengan malu.

 

Nina sahabatku dari bangku SMU kelas 1, dia yang selalu menjadi teman curhatku selama ini. Satu hal yang aku suka darinya, walau dia anak orang berada tapi tidak sombong. Pak Burhan, supir keluarga Nina sudah menunggu kami dihalaman depan sekolahku dan kali ini saya menumpang sampai di perempatan Slipi.

 

Kami berdua menyempatkan diri mampir disebuah warung makan kecil untuk membeli makanan buat anak-anak dikelas. Kemudian kami segera beranjak pergi menuju kelokasi kelas darurat – sebutan buat kelas kami. Dan hari kami juga mendapatkan sumbangan uang dari beberapa teman kelas.Kelak uang tersebut akan kami belikan buku, pulpen, buku gambar, dll.

 

Tiap hari kami harus mampir keruang kepala stasiun KA untuk mengambil kunci ruangan kelas darurat. Pak Dedi -  salahsatu staff KA memberikan kunci tersebut kepadaku.

 

“Siang adik-adik, bagaimana dengan anak murid kalian?”

“Alhamdullilah, Pak…banyak kemajuan.”

“Wah senangnya, jangan patah semangat ya!”

“Nggak lah, malah kami semakin bersemangat”

 

Setelah menerima kunci, kami segera menuju ke ruang kelas darurat.

Sari dan Inay sudah menunggu kami terlebih dahulu.

“Siang Kak Adis dan Kak Nina”, sapa mereka berdua.

“Siang adik-adik”

 

Aku membersihkan ruang kelas dibantu dengan Sari dan Nina mengeluarkan makanan kecil dari dalam tas, sementara Inay membantu mengatur buku pelajaran yang kami bawa hari itu.

 

“Panjul mana yakh, koq jam segini belum datang juga?” tanyaku.

Sari menggelengkan kepalanya dan begitu juga dengan Inay.

 

To be continue

2 comments: