Sunday, April 19, 2009

Kartini

Kartini beristirahat sebentar disebuah warung kecil dipinggir jalan. Dihapusnya peluh dari pelipisnya dan ia melihat keatas, matahari begitu terik siang itu. Ia kemudian memesan sebuah teh botol dan menyeruputnya hingga habis. Rasa haus yang tadi memenuhi kerongkongannya kini telah sirna.

Seorang ibu yang sedang menuntun anak kecil lewat didepan Kartini. Sebuah rangkaian kecil bunga putih jatuh diatas jalan depan Kartini, harum bunga itu semerbak merangspang. Kartini segera mengambil rangkaian bunga putih itu, bunga melati.

Ia segera mencium harum semerbak bunga melati dan ia teringat bahwa hari itu adalah 21 April. Dihari itu, ia selalu teringat ketika ia kecil. Ibunya Sumirah selalu mengenakan baju kebaya ala priyayi Jawa dengan banyak rangkaian melati yang diuntai disamping konde, layaknya wanita Jawa.

Ketika disekolah, ia dan teman-temannya harus menyanyikan lagu “Ibu Kita Kartini”. Lamunan Kartini melayang jauh mengingat masa-masa kecilnya yang bahagia. Kini Kartini berada diibukota sebuah negri yang konon terkenal kaya akan hasil bumi dan makmur.

Kartini bukan lahir dari tanah Jawa, ia lahir dipulau emas, Swarnadipa bagian utara. Orangtuanya memang dari tanah Jawa tetapi ia dilahirkan disebuah kota kecil yang berjarak sekitar 8 jam perjalanan dari kota Medan, Sumatera Utara. Sumirah dan Tukiran adalah nama kedua orangtua Kartini yang ditahun 80an mengikuti program transmigrasi jebol desa dari pemerintah. Desa tempat orangtua Kartini kini telah berubah menjadi waduk Kedungombo yang termasyhur.

Kartini tidak secantik putri regent Jepara yang termasyhur itu, ia berkulit agak gelap karena semenjak kecil membantu kedua orangtuanya dikebun setelah pulang sekolah. Telapak tangannya juga kasar tidak sehalus wanita priyayi Jawa. Setelah menamatkan sekolah menengah tingkat atas dikota Labuhan Batu, Sumatera Utara, ia dinikahkan paksa dengan seorang mandor kebun kelapa sawit oleh kedua orangtuanya.

Seperti kebanyakan wanita dikampungnya, selepas lulus SMA maka diharuskan menikah. Kartini sebenarnya tidak mau menikah muda karena ia belum merasa siap dan ingin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi, ia ingin menjadi seorang sarjana.  Tetapi karena alasan klasik yaitu ekonomi, maka ia harus rela menguburkan impiannya. Dan bahkan ia harus rela dimadu, menjadi istri ketiga dari sang mandor kelapa sawit.

Setelah sekian lama menikah, ia tidak dikaruniai seorang anak hingga sang suami menikah lagi, kini sang mandor mempunyai empat orang istri. Kartini merasa terintimidasi oleh pihak keluarga suami, sehingga ia memutuskan untuk melarikan diri dari desanya. Ia naik bus ke Jakarta yang harus ia tempuh selama 2 hari 3 malam.

Sebuah keputusan yang sangat berat karena ia harus meninggalkan kedua orangtuanya. Diibukota, Kartini menemui teman sekolahnya semasa di SMA yang terlebih dahulu bekerja di Jakarta. Ia kemudian diajak teman sekampungnya Endah untuk menjadi pembantu rumah tangga di sebuah perumahan mewah di Jakarta.

Setelah beristirahat diwarung, Kartini menuju kerumah majikannya yang baru bersama Endah.

“Nanti kalau kamu sampe dirumah majikanmu yang baru, jangan lupa ikutin saja perintahnya!” kata Endah.

Tidak berapa lama, mereka berdua sudah tiba disebuah rumah berpagar tinggi yang tertutup. Endah segera mengajaknya masuk dan memperkenalkan Kartini pada majikannya yang baru. Seorang wanita Jawa priyayi dan bersuamikan seorang pengusaha tambang batubara di Kalimantan.

“Namamu Kartini?” majikan barunya bertanya.

“Benar, bu.”

“Sebaiknya jangan panggil “bu” disini. Pakailah ndara. Kamu belajar dari Mbok Nem sana, tentang tata cara disini. Katanya masih wong jowo, koq nggak bisa nJawani.”

“Maaf Bu, eh maaf ndara…orangtua saya memang dari Jawa tapi saya lahir dan besar di Sumatera,” jawab Kartini. Endah mencubit Kartini karena ia berani menjawab.

“Oh pantesan. Yo wis sana kamu masuk kedalam belajar dari Mbok Nem biar nanti dia ngajarin kamu tata cara dirumah ini!” kata sang majikan dengan ketus.

Endah mengajaknya masuk dan memperkenal Kartini pada Mbok Nem, seorang wanita tua berumur 60an dan berasal dari kota Yogya. Ia sudah menjadi pembantu sang majikan mulai dari gadis, mungkin sekarang sudah 40 tahun setia bersama majikan. Dan ia wanita Jawa yang sangat ramah dan dengan telaten mengajari Kartini untuk belajar menyebut Ndara putri, den dan lain-lain layaknya panggilan untuk keluarga.

Pada awalnya lidah Kartini merasa kaku karena semenjak kecil ia tidak terbiasa berbicara bahasa Jawa kromo inggil walau kedua orangtuanya masih menggunakan bahasa Jawa. Kartini lebih banyak berbicara bahasa melayu, tetapi ia masih mengerti maksud dari pembicaraan kedua orangtuanya.

Yang ia ingat hanya kata-kata den ajeng, setiap kali disekolah memperingati hari Kartini setiap tanggal 21 April. Raden Ajeng Kartini, sebuah gelar priyayi Jawa untuk pahlawan nasional yang dianggap berjasa bagi kaum perempuan waktu itu dan hingga kini karena telah meniupkan emansipasi.

Kartini juga ingat ketika gurunya bercerita bahwa Raden Ajeng Kartini hanya mau dipanggi Kartini saja, tanpa raden ajeng maupun ndara. “Karena Ndara berarti landa mara, artinya ‘belanda datang’,”begitu kata gurunya yang juga berasal dari Jawa dengan bersemangat.

Kini Kartini harus memanggil anak majikannya dengak sebutan ndara dijaman yang modern ini.  Entah karena status sosial sang majikan yang tinggi karena bersuamikan seorang pengusaha tambang atau karena memang latar belakang keluarga feodal sang majikan - priyayi tulen.

Kini Kartini harus menggantikan tugas Mbok Nem yang sudah tua, setiap pagi Kartini harus bangun pagi untuk membantu Endah memasak, menyiapkan makanan pagi serta mengantarkan anak sang majikan kesekolah dan menungguinya hingga sekolah berakhir.

Sementara Ndara putrinya seorang yang aktif diperhimpunan wanita, arisan, acara amal, main golf dan pesta Crème de la Crème Jakarta. Urusan anak dan dapur dipercayakan pada ketiga pembantunya, bahkan tiap 21 April ternyata Ndara putrinya kerap tampil di TV menjadi pembicara persamaan gender.

Kini Kartini mengerti makna emansipasi perempuan, walau ia harus berjuang dengan menjadi seorang pembantu. Tetapi kini nasib Kartini lebih baik dibanding ketika menjadi istri ketiga seorang mandor yang sering dicemooh karena belum mempunyai anak. Ia lepas dari belenggu dilema.

Setiap bulan Kartini bisa menyisihkan uang gajinya untuk dikirimkan keorangtuanya dikampung. Dan bahkan ia bisa tinggal dirumah mewah yang selama ini hanya ia saksikan ditelevisi, walau hanya menumpang tinggal. Malam ini ia bisa tidur dengan tenang dikasur yang cukup empuk, sambil memimpikan suatu saat nanti ia bisa menjadi Kartini yang lebih baik lagi. Bukan hanya menjadi seorang pembantu.

4 comments:

  1. Bro...cerita kartini to be continue atau habis sampai sini je? boleh la aku paham sikit2 cuma kau nanti kena terangkan bahasa jawa kromo inggil..boleh bro...

    ReplyDelete
  2. bukan it's only fiction saja koq

    ReplyDelete
  3. hahaha...its only a short story..the rest u just guess lah...
    tak cukup waktu untuk membuatnya jadi cerita bersambung

    ReplyDelete