Tuesday, November 10, 2009

A Heritage Trail in Malacca




Perjalanan ke kota Malaka (Malacca) ditempuh selama 2 jam melalui Lebuh Raya (Jalan Tol) yang mulus dan lebar. Salahsatu yang saya sukai dari Malaysia yaitu infrastrukturnya yang sangat baik mulai dari jalan tol yang boleh dilewati oleh motor sikal (sepeda motor tanpa bayar tol) hingga subway (kereta bawah tanah) dan LRT.

Malacca sebuah kota kecil yang sangat tua, menurut sejarah didirikan tahun 1377 oleh Raja Parameswara, Raja Palembang yang melarikan diri akibat serbuan dari kerajaan Majapahit. Malaka kini berubah menjadi kota wisata dan warisan budaya oleh Unesco. Berbagai bangsa telah menjajah negri ini hingga detak peradaban buadayanya juga beragam. Bangsa Melayu masih menguasai tradisi buadaya disini selain budaya Cina dan Portugis.

Banyak gereja tua ditemukan dikota ini, maklum bangsa Portugis juga turur menyebarkan agama Katolik di kawasan ini. Hingga kini banyak masyarakat keturunan Tionghoa dan India memeluk agama Katolik. Disebut sebagai “little venesia” karena kota ini dialiri oleh sungai yang membelah kota tersebut.

Matahari begitu terik dan cuaca disini sangat panas, maklum ditepian pantai. Selesai memarkir mobil yang bertarif RM 2 selama sehari penuh, saya kemudian berjalan kaki menyusuri sungai menuju ke kawasan Stadhuist. Mengingatkan saya akan lokasi kota tua di Jakarta Utara dan Semarang. Seandainya pemerintah mau memoles dan mengucurkan dana tanpa dikorup, pastilah kawasan itu akan sangat cantik dan lebih dari kota Malaka.

Gereja pertama yang lewati yaitu Gereja Katolik Santo Fransiskus Xaverius (nama ordo sekolah saya waktu SD – SMA) dan kemudian gereja Kriten Protestan “Christ Church” atau Gereja Merah yang dibangun Belanda pada tahun 1753. Suara liturgi mengalun dengan merdu dari dalam gereja dan kemudian saya masuk (dilarang memotret dalam area gereja). Tidak terlalu besar dan seperti gereja jaman Belanda seperti Gereja Bleduk di Semarang.

Stadhuyst – dibangun pada tahun 1650 oleh Belanda sebagai rumah kediaman Gubernur dan residennya waktu itu. Kini dijadikan museum lithography. Perut pun mulai lapar, akhirnya saya menyebrangi jalan raya dan menuju kesebuah kedai tepi sungai. Kedainya cukup cantik dan berada dilokasi wisata. All foods were only RM 6 dan lumayan rasanya. Tidak jauh dari kedai terdapat sebuah kincir air buatan Belanda dan masih berfungsi dengan baik. Serta ada sebuah bangunan tua yang lagi direnovasi dan ternyata dibawahnya masih terdapat sisa bangunan kuno sepertinya benteng lama.

Sebrang bangunan tersbeut juga terdapat benteng dengan meriam replica ditepi sungai, yang bagusnya sungai disini cukup bersih sehingga wisatawan bisa menikmati. Dan yang paling menarik ternyata di Malaysia banyak terdapat burung gagak hitam. Mereka bisa ditemukan hampir diseluruh semenanjung Malaysia.

Selepas makan siang, perjalanan dilanjutkan menuju ke harbour terdekat dan ada replica kapal Laksamana Ceng Ho. Kemudian saya pergi ke A Fomosa – sebuah benteng kuno buatan Portugis yang terletak diatas bukit yang sangat strategis. Dari atas bukit kita bisa melihat kota Malaka dan disini terdapat sebuah reruntuhan gereja tua dengan patung Santo Fransiskus Xaverius – penyebar agama Katolik mulai dari Goa, India hingga ke Malaka, Jawa dan juga Jepang.

Gereja tersebut sempat terbakar dan disekitarnya merupakan area pemakaman untuk kaum bangsawan Belanda. Ada sebuah ruangan bawah tanah seperti penjara dan beberapa orang melempar koin kedalam chamber tersebut. Beberapa batu nisan disandingkan ditembok bangunan gereja dan mengingatkan saya seperti di museum wayang di Old Jakarta yang dulunya memang gereja serta kawasan makam kuno dekat tanahabang.

Sisi selatan benteng tersebut kini dijadikan replica Istana Kesultanan Malaka dengan tiket masuk RM 2. Didalamnya kita bisa melihat beberapa diorama sejarah kesultanan Malaka waktu itu, benda-benda seni dan budaya serta baju adat pengantin di Malaysia.

Selepas dari replica istana, kami bisa menyaksikan puluhan tukang becak membawa turis asing keliling kota. Becak disini dihias berbagai macam warna dan ada musiknya, sangat unik dan patut dicontoh karena becak di Indonesia kini sudah jadi barang langka kecuali dibeberapa kota di Jawa dan Sumatera.

Seorang wanita asing sedang melakukan yoga dibawah pohon rindang dan rupanya ia sedang mengajarkan Falun Gong – sebuah sekte terlarang di Cina. Semasa di Kuala Lumpur beberapa wanita keturunan Tionghoa pengikut Falun Gong juga membawa spanduk diarea dataran merdeka ketika serombongan turis dari Taiwan atau Cina turus dari bas pesiaran (travel bus).

Karena sudah penat jalan kaki, kami menuju ke Eye on Malaysia – kemidi putar raksasa (ferris wheel) setinggi 60 meter dan diresmikan pada tahun 2007. Dulunya terletak di Kuala Lumpur dan kini diletakkan di kota Malaka karena saat ini Malaka dijadikan pusat seni dan budaya Malaysia, selain itu dulunya memang terdapat kincir air.

Dari sini saya bisa melihat kota Malaka 360 derajat, harga tiket masuk RM 20 untuk turis asing dan RM 10 untuk masyarakat Malaysia (Cuma harus menunjukan ID / KTP). Kemidi putar ini berputar sebanyak 5 x dengan waktu tempuh 12 menit. Ada 42 gondola dan salahsatunya 1 gondola VIP. Hmmmm kita pasti bisa buat seperti ini…..harus ada!!

Secara keseluruhan berwisata ke Melaka lebih ditujukan untuk wisata peninggalan sejarah dan yang lebih hebatnya pemerintah Malaysia sudah melek wisata sehingga bisa membuat sesuatu yang biasa menjadi luar biasa. Ratusan turis setiap hari berkunjung ke kota ini. Yang notabene kawasan kota tua di Jakarta dan Semarang masih lebih cantik dan lebih luas dari Malaka. Tapi masalah kebersihan, tata kota, informasi wisata buat turis, infrastuktur yang baik….mereka masih lebih baik jauh daripada Indonesia. Kita….bila???? Yang ada kita hanya sibuk mengurusi cicak vs buaya....

No comments:

Post a Comment