Wednesday, November 4, 2009

The Fitting Room – Mella Jaarsma




It’s a long road – “Lagi pengen pencerahan!” salahsatu isi pesan SMS saya kepada seorang sahabat. Setelah beberapa bulan ini berada di Kota Bandung yang minus galeri dan pameran seni, akhirnya saya memutuskan untuk pergi menuju ke Galeri Nasional Jakarta pada hari minggu lalu.

Keluar dari zona nyaman, saya mencoba moda transportasi kereta api komuter dari stesen KA Bekasi karena letak galeri nasional pas diseberang stesen KA Gambir. Begitu didepan loket, saya memesan tiket KA dan ternyata waktu KA beraircon baru ada pukul 15.45. Berarti saya harus menunggu 40 menit lagi, terpaksa beli tiket KA ekonomi. Sekitar 10 menit kemudian kereta api ekonomi tiba dan begitu masuk kedalamnya…hmmm nggak banget. Saya jadi inget waktu kecil dulu naik kereta api ke Jawa dan begitulah keadaannya kereta api ekonomi jurusan Cikarang – Senen. Dan sialnya lagi ternyata hari minggu tidak ada kereta langsung ke stasiun Gambir. Saya mencari tempat duduk yang nyaman dan otomatis saya harus mengamankan barang-barang berharga seperti dompet dan HP ditempat yang aman.

Satu – 5 menit saya masih berasa cukup nyaman, tapi lama kelamaan saya menjadi sangat tidak nyaman karena udara panas dalam kereta api ekonomi yang hanya memakai fan dan suasana yang sumpek..jadi bikin nggak betah. Akhirnya saya segera keluar kereta dan beberapa mata memandang saya aneh karena ada mahluk aneh yang masuk kedalam kereta dan keluar lagi karena keringat yang bercucuran.

Buruknya lagi tidak ada pengumuman yang mempermudah saya untuk melihat jadwal perjalanan kereta api, saya yang harus aktif bertanya diperon berapa kereta api ke senen. Tidak lama kemudian kereta api AC jurusan Pasar Senen pun tiba, saya bergegas masuk kedalamnya dengan hanya berbekal tiket KA ekonomi. Seperti yang kita ketahui, petugas pemeriksa karcis tiket pun dengan mudah diberikan uang salam tempel sebagai pengganti tiket. Kereta ekonomi akhirnya berangkat dan pilihan saya tepat karena kereta ekonomi tersebut dikorbankan, pasalnya lintas KA Bekasi merupakan salahsatu lintasan padat menuju ke kota2 lain di pulau Jawa.

Huh kereta buatan Jepang tahun 1960an ini masih sangat nyaman buat saya, berhawa dingin dan cukup bersih dibandingkan dengan kereta ekonomi yang kayak pepes ikan teri…puanazzz. Setibanya distesen Pasar Senen…saya jadi ingat waktu tahun 2002 pukul 04.00 pagi tiba distesen tersebut. Ketika saya harus terpaksa pulang mendadak dari kota Solo karena sang mantan waktu itu sedang sakit parah..what a memory! Stesen pasar Senen salahsatu stesen KA tertua di Jakarta setelah Beos dan Tanjung Priuk dan yang unik dari stesen ini kita harus melewati jalan bawah tanah ketika ingin keluar peron – sama seperti di stesen KA Tugu – Yogyakarta.

Sebrang stesen Pasar Senen terdapat sebuah pasar tertua di Jakarta dan salahsatu pasar modern dijamannya, Pasar Senen. Saya ingat waktu SD tahun 1986, Mama saya sering berbelanja dipasar ini dan kami sering makan salahsatu mie yang uenak tenan dilantai basement pasar tersebut. Bahkan my mom sering dipanggil “Encik” dan bahkan diajak biacara bahasa Hokian karena kami berdua seperti peranakan Tionghoa….hahahaa….

Sekarang Pasar Senen terlihat berbeda, lebih rapih, bersih dan bangunannnya masih sangat baru. Sisi kanan bawah bangunan masih bisa kita temukan kios jam tangan yang cukup lengkap dan harganya sangat murah sekali. Dan ada taman kecil disampingnya yang bisa dijadikan sarana leyeh-leyeh serta berAC jadi tidak perlu berpanas-panas ria seperti dulu. Apabila revitalisasi pasar tradisional menuju ke pasar modern yang nyaman, saya sangat mendukung sekali. Asal jangan seperti dalil pemprov DKI dan Pasar Jaya yang hendak menggusur pasar Benhil dan Manggarai serta menggantikannya dengan bangunan hotel dan pasar tradisional. Secara logika saja tidak masuk akal, bagaimana sebuah bangunan hotel dibangun diatas sebuah pasar modern. Yang ada ujung-ujungnya pasar tradisional digusur dan berubah jadi mall dan perkantoran. Argh…aya aya wae!!

Akhirnya tiba di jalan raya Pasar Senen dan taksi adalah pilihan saya terakhir karena cukup malas naik angkot / bus kearah Gambir…dalam waktu 10 menit dan hanya menghabiskan biaya Rp 15,000 saja…saya sudah tiba didepan Galeri Nasional.

The Shadows – pameran Mella Jaarsma – The Fitting Room dibagi dalam dua bangunan Galeri Nasional yang terletak disayap kiri dan kana galeri. Karena bangunan utama sedang digunakan untuk pameran FX Harsono. Mella Jaarsma adalah seniwati instalasi, kolektor dan kritikus seni yang bertempat tinggal di Yogyakarta dan berkewarganegaraan Belanda. Beliau juga pemilik galeri Cemeti di kota gudeg tersebut, bersuamikan orang Indonesia dan sudah dikaruniai dua orang anak. MJ (Mella Jaarsma) juga tokoh dibelakang Benielle Seni Yogyakarta dan karya-karyanya sering dipamerkan dibanyak galeri di dunia seperti di KL, Tokyo, dll.

Di sayap kiri bangunan Galeri Nasional, MJ lebih banyak bermain dibayangan dan mungkin ia mendapatkan inspirasi dari wayang kulit – sebuah karya adiluhung bangsa Indonesia yang sudah diakui oleh Unesco pada tanggal 7 November 2003 sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Community. Kali ini MJ membuat berbagai macam karya seni yang diberikan sentuhan tersendiri seperti dari bahan metal atau textile. Sebuah gunungan yang melambangkan gunung Merapi sebagai porosnya juga ditampilkan. Mengingatkan saya akan poros Merapi – Keraton Yogyakarta Hadiningrat – Pantai Laut Selatan dengan para pemainnya yaitu masyarakat dna ada juga penampilan video yang ditembakkan pada sebuah dinding galeri. It’s marvelous…

The Corpse – sesi kedua pameran terletak disayap kanan bangunan galeri. Ketika masuk ruangan, saya dikejutkan oleh beberapa sosok mayat yang terbungkus oleh berbagai macam material mulai dari kasur hingga papan seng. Unik dan aneh…tapi sepertinya MJ ingin menggambarkan tragedy yang terjadi di Indonesia. Pembunuhan dan kemiskinan adalah sesuatu yang ingin disampaikan…saya jadi ingat tentang Operasi Petrus yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru tahun 1980an – read: http://litabm.wordpress.com/2008/03/08/petrus-sisi-kelam-pemerintahan-soeharto-1/

The Army – begitu masuk keruangan lain…MJ ingin menceritakan tentang TNI…beragam emblem prajurit TNI dipasang menjadi sebuah manekin. Seperti yang kita ketahui bahwa TNI sempat menorehkan tinta merah dalam sejarah bangsa ini. Dan yang lebih berani lagi MJ menggambarkan TNI yang memakai barang mewah dibalik baju seragam lorengnya…hmm apabila pameran ini dilakukan di jaman Soeharto sudah pasti ia dimasukkan dipenjara atau bahkan dicekal masuk ke Indonesia. Tapi yang patut diacungkan jempol adalah bagaimana MJ meramu sejumlah bahan menjadi sesuatu barang seni yang menarik…ia menggabungkan material dari kulit ikan pari, tanduk kerbau, kepompong ulat sutra, dll menjadi sebuah jubah. Bahkan ia juga mengkritik pemerintah Orba yang hanya memperbolehkan etnis Tionghoa untuk berdagang. Ia membuat sebuah artwork mirip tukang dagang asongan dengan motif peranakan.

Kotekamu, Kotekaku – ruang terakhir menceritakan tentang berbagai macam jenis Koteka atau Holim dalam bahasa Papua. Koteka adalah pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki dalam budaya sebagian penduduk asli Irian Jaya /Papua .

Koteka terbuat dari Labu air, isi dan biji labu tua dilkeluarkan serta kulitnya dijemur. Secara harfiah, kata ini bermakna “pakaian” dan berasal dari salahsatu suku kata di Paniai. Sebagian suku di pegunungan Jayawijaya menyebutnya Holim atau Horim. Ukuran koteka sendiri sebenarnya berhubungan dengan aktivitas penggunaan, untuk bekerja atau upacara adat. Banyak suku di Papua dapat dibedakan dari cara mereka memakai koteka. Koteka yang pendek digunakan untuk bekerja, yang panjang denga n hiasan untuk upacara adat.
Suku Yali biasanya menyukai bentuk labu yang panjang dan suku Tiom memakai dua buah labu. Sesuai perkembangan jaman dan masuknya misionaris Kristen dan Katolik di awal tahun 1950an mulai memberikan ruang lingkup yang terbatas kepada para penggunanya. Koteka dilarang digunakan di kendaraan umum dan sekolah-sekolah. Kini Koteka dijadikan cinderamata….mau??

Untuk masyarakat pegunungan Jayawijaya, Koteka umumnya masih banyak dipakai dan untuk berfoto dengan mereka, kita harus memberikan mereka uang sebagai uang jasa….Didaerah pesisir pantai, Koteka malah jarang ditemui. Ketika misionaris masuk, merekalah yang gencar penggunaan celana pendek sebagai pengganti Koteka. Suku Dani suka mengenakan celana pendek tetapi pada saat upacara adapt mereka masih suka memakai Koteka.

Sejak Gubernur Papua pertama - Frans Kaisepo, beliau menggalakan kampanye anti Koteka dan terkenal dengan misi “Operation Koteka”. Tahun 1971, pemerintah RI membagikan pakaian kepada penduduk lokal papua tetapi akibat mereka belum mengenal sabun mandi. Maka banyak warga lokal Papua yang terkena penyakit kulit seperti jamur, dll karena sebagian kondisi tanah Papua yang lembab dan masih banyak hutan. Operasi yang aneh….padahal hal tersebut patut dipertahankan sebagai bagian dari budaya lokal.

Dari sinilah saya sedikit mengetahui bahwa wanita Papua menyukai pria yang memakai Koteka, karena dianggap lebih terbuka dan apa adanya. Dan uniknya Koteka yang besar juga digunakan sebagai wadah untuk menaruh uang atau barang kecil lainnya.

Dipameran ini, MJ memberikan informasi seperti Koteka dilarang oleh orang Kristen tapi orang Katolik memperbolehkan Koteka digunakan. Atau ujung Koteka yang melengkung dianggap pemakainya impoten tapi ada beberapa suku yang menganggap sesuatu yang lazim.

Selain itu MJ juga menyediakan ruangan kecil bagi para pria yang ingin mencoba koteka sesuai ukurannya…hehhee..unik dan lucu juga. Diluar bilik, ia menggantungkan kain loreng TNI dan adanya emblem TNI yang sepertinya ingin mengkritik TNI yang masih bercokol ditanah Papua. Seperti yang kita ketahui gerombolan separatis OPM (Papua Merdeka) masih memberikan serangan kecil terhadap alat2 vital negara. Dan bahkan kekayaan alam bumi Papua juga menjadi incaran beberapa negara besar seperti Amerika dan Australia. Well…demi sebuah keutuhan bangsa, TNI wajib hukumnya melindungi tiap jengkal tanah Republik Indonesia. Walau TNI juga sering berlebihan terhadap masyarakat lokal Papua. Sudah saatnya pemerintah lebih memperhatikan kesejahteraan orang Papua bukan hanya menguras kekayaan alamnya saja. Yang ironis lagi, masih saja ada berita tentang bahaya kelaparan dipegunungan Jayawijaya serta minimnya fasilitas pendidikan dan kesehatan. Misionaris asing banyak berperan penting dalam menaikan hidup derajat masyarakat pegunungan dibanding dengan pemerintah lokal…This should be changed….

Thanks MJ…..you’re so brave to tell the truth with your artworks...




No comments:

Post a Comment