Monday, September 8, 2008

Ngabuburit di GANAS Indonesia

Sudah lama tidak berkunjung ke museum atau galeri, akhirnya sambil menunggu bedug maghrib saya menyambangi gedung GANAS alias Galeri Nasional Indonesia yang terletak di depan stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Gedung Galeri Nasional Indonesia yang terletak di Koningsplein Cost No. 14 ini (sekarang Jalan Medan Merdeka Timur No. 14. Jakarta Pusat), didirikan pada tahun 1902 oleh Yayasan Kristen Carpenter Alting Stiching (CAS) yang bernaung di bawah Ordo van Vrijmetselaren, atas prakarsa Pendeta Albertus Samuel Carpentier.

 

Pada tahun 1981, gedung ini dikelola oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hingga bagian kanan gedung tua tersebut dijadikan sebuah sekolah menengah atas (SMA 4 – kalau tidak salah) negri Jakarta. Dan sisi kanan gedung dijadikan tempat kursus bahasa Inggris yaitu IEC (Intensive English Course) cabang Gambir.

 

Ingatan saya seperti kembali ke masa lalu. Sambil duduk di sebuah bangku taman didepan bangunan putih jaman kolonial, saya memandang sebuah bangunan tua yang memanjang ke belakang. Saya dulu pernah mengambil kursus di IEC cabang Gambir pada tahun 1990 - 1991. Setelah pulang sekolah dan tidur siang sebentar, saya langsung diantar oleh Bapak naik mobil untuk kursus bahasa Inggris di IEC. Sesampainya disana, saya tidak langsung masuk kelas, saya biasa duduk ditaman sambil beli minuman ringan atau melihat pameran seni yang berada di gedung utama.

 

Sementara sebelah kanan, saya bisa melihat anak-anak SMA sedang asyik belajar dari balik jendela besar yang berada di gedung tua tersebut. Dari sinilah saya belajar mengenal galeri seni, terkadang saya bosan dengan pelajaran yang diberikan oleh pengajar di kursus bahasa Inggris tersebut. Karena tidak interaktif dan juga pelajarannya sudah saya mengerti, maklum dari kelas 3 SD saya sudah mendapatkan les bahasa Inggris. Akibatnya saya sering membolos dan terkadang hanya sekadar absen saja dikelas setelah itu keluar dan lebih banyak nongkrong di taman depan galeri nasional.

 

Taman itu kalau sore hari sekitar jam 3 – 4 cukup ramai oleh anak-anak sekolah SMA atau siswa kursus IEC. Lumayan kan bisa cuci mata dibanding saya harus berada di dalam kelas. Tahun 90an, galeri nasional juga sering memajang karya seni para seniman muda berbakat. Salahsatunya yaitu Dede Eri Supriya, pertama kali saya melihat karyanya langsung jatuh cinta. Hampir seluruh lukisan yang ditampilkan waktu itu berukuran besar dan mempunyai warna yang hidup. Bahkan lukisan yang dihasilkan benar-benar tampak hidup dan penuh detail. Saya yakin pasti banyak pecinta seni lukis yang akan menggandrungi lukisannya. As you see now, he’s one of the most famous painters in Indonesia.

 

Berbagai macam karya seni saya nikmati di galeri ini dan secara tidak sadar interaksi saya dengan kesenian terbentuk dari pertemuan kursus bahasa Inggris tiap 2 hari sekali dilokasi ini. Sekarang, semua sudah berubah total!!

 

Gedung sisi kanan galeri seni yang dulunya adalah SMA kini sudah dikosongkan dan ruang-ruang kelas yang berdiri megah dan kelihatan anggun kini tampak bersih. Lokasi sekolah telah dipindahkan ke sebuah tempat. Lokasi les bahasa Inggris IEC juga sudah dikosongkan. Ruang kelas saya dulu yang sempat saya singgahi hanya selama 6 bulan, kini juga kosong melompong. Bangunan tersebut tampak lebih rapid dan dibuat minimalis modern bagian depannya. Sebuah seni kriya dipajang dihalaman depan gedung tersebut. Saya masih ingat betapa bandelnya saya waktu itu karena sering membolos kursus.

 

Tidak ada lagi keramaian, penjual makanan/minuman yang berjualan ditaman, tidak ada lagi riuh rendah suara anak murid yang sedang belajar, tidak ada lagi suara guru yang sedang mengajar bahasa Inggris. Semuanya berubah menjadi sunyi sepi……..kesunyian menyelimuti kawasan Galeri Nasional Indonesia. Bahkan dalam pameran lukisan Salim 100th Anniversary kali ini hanya disinggahi oleh 5 (lima) orang, termasuk saya.

 

Ingin rasanya membuat suasana dikawasan Galeri Nasional Indonesia ini kembali ramai seperti dulu, seperti halnya galeri seni nasional di kota lain yang dilengkapi café atau restoran yang memikat lainnya sehingga orang awam mau berkunjung ke sebuah galeri seni. Padahal dari rasa keingintahuan dan pertemuan tidak sengaja antara tempat kursus dan saya pribadi, membuat saya mengenal seni dari sosok galeri ini.

 

Sebuah billboard raksasa dan iklan di media cetak belum tentu bisa mendatangkan pengunjung apabila berhubungan dengan pameran seni. Pameran seni bagi masyarakat Indonesia dianggap masih sesuatu hal yang sulit untuk dinikmati apalagi dibulan puasa seperti ini. Padahal berkunjung digaleri seni ini tidak bayar lho alias gratis!! Masyarakat perkotaan lainnya lebih memilih menghabiskan waktu ngabuburit di mal / restoran lainnya. Tidak ada salahnya apabila kawasan ini dibuat lebih hidup, sebuah kombinasi antara menikmati hidup hedonis ala café/resto dengan karya seni. Kapan yakh??

 

http://www.galeri-nasional.or.id/

No comments:

Post a Comment