Monday, January 5, 2009

Bosscha – Keindahan yang Tersembunyi




Beberapa waktu yang lalu, saya mengunjungi Observatorium Boscha dikawasan Lembang, selama ini saya belum pernah menginjakkan kaki ditempat ini. Padahal lokasinya sering saya lewati ketika ingin berkunjung ke Tangkuban Perahu atau Subang, tetapi tidak ada penunjuk jalan yang jelas disepanjang jalan. Dari kejauhan hanya terlihat sebuah bangunan kubah berwarna keperakan diujung bukit dan baru tahu bahwa itu yang selama ini saya cari….Observatorium Bosscha. It’s ironic!

Observatorium Bosscha (dahulu bernama Bosscha Sterrenwacht) dibangun oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda. Pada rapat pertama NISV, diputuskan akan dibangun sebuah observatorium di Indonesia demi memajukan Ilmu Astronomi di Hindia Belanda. Dan di dalam rapat itulah, Karel Albert Rudolf Bosscha, seorang tuan tanah di perkebunan teh Malabar, bersedia menjadi penyandang dana utama dan berjanji akan memberikan bantuan pembelian teropong bintang. Sebagai penghargaan atas jasa K.A.R. Bosscha dalam pembangunan observatorium ini, maka nama Bosscha diabadikan sebagai nama observatorium ini. Pembangunan observatorium ini sendiri menghabiskan waktu kurang lebih 5 tahun sejak tahun 1923 sampai dengan tahun 1928.

Publikasi internasional pertama Observatorium Bosscha dilakukan pada tahun 1933. Namun kemudian observasi terpaksa dihentikan dikarenakan sedang berkecamuknya Perang Dunia II. Setelah perang usai, dilakukan renovasi besar-besaran pada observatorium ini karena kerusakan akibat perang hingga akhirnya observatorium dapat beroperasi dengan normal kembali.
Kemudian pada tanggal 17 Oktober 1951, NISV menyerahkan observatorium ini kepada pemerintah RI. Setelah Institut Teknologi Bandung (ITB) berdiri pada tahun 1959, Observatorium Bosscha kemudian menjadi bagian dari ITB. Dan sejak saat itu, Bosscha difungsikan sebagai lembaga penelitian dan pendidikan formal Astronomi di Indonesia hingga saat ini.

Ketika kami memasuki area perbukitan tidak tampak penunjuk jalan yang memadai sehingga kami harus bertanya kepada penduduk setempat. Yang terpasang kini spanduk bertulisankan penjualan kavling tanah/rumah diarea perbukitan Lembang. Ironis sekali karena perbukitan diLembang kini sudah hampir gundul dan digantikan oleh bangunan rumah atau bahkan perkebunan sayur/buah-buahan.

Sampailah kami dipintu masuk Bosscha dan seorang petugas satpam menghampiri kami serta menyapa kami berdua. Ia memberikan selembar kertas fotokopian yang berisi tentang informasi jadwal kunjungan. Kunjungan pada siang hari dikelompokkan menjadi 3 sesi dengan pengaturan sbb:
• Sesi 1 : 09.00 – 10.00.
• Sesi 2 : 12.00 – 13.00
• Sesi 3 : 15.00 – 16.00

Sementara jadwal kunjungan pada malam hari ditentukan berdasarkan fasa bulan dan dikeluarkan setiap awal tahun. Untuk paket kunjungan siang hari (perlu perjanjian) min. 25 orang dan max. 200 orang dengan biaya Rp 5,000/orang sementara pada malam hari dikenakan biaya Rp.10,000/orang/kunjungan sambil menikmati tour teleskop Zeiss. Dan untuk jadwal kunjungan sudah penuh hingga bulan Oktober 2009…….wow!! Beruntunglah bagi mahasiswa ITB fakulti astronomi karena hanya mereka yang bisa menikmati layanan teleskop Zeiss untuk penelitian tanpa harus mengantri jadwal kunjungan.

Jadi saya hanya bisa menikmati bangunan Observatorium dari halamannya saja tanpa bisa masuk kedalam dan menikmati teleskop Zeiss tersebut. Padahal terdapat 5 buah teleskop didalam bangunan observatorium tersebut. Suasana sangat sepi sekali siang itu tanpa ada satu pengunjung sedikitpun. Ada suasana magis disekeliling bangunan yang tidak bisa saya gambarkan disini, padahal tamannya cukup menarik dengan bunga tropis yang berwarna warni.

Pada bagian depan kawasan Bosscha terdapat sebuah obelisk yang bertuliskan K.A.R. Bosscha dan tahun 1923, sepertinya sebuah tugu peringatan bahwa observatorium tersebut dibuat oleh jasa beliau dimasa hidupnya. Sayang kini kawasan Lembang tidak seindah dulu ketika langit masih cukup terang dan bersih untuk mengamati pergerakan bintang diangkasa. Kawasan tersebut kini sudah penuh dengan bangunan dan terang oleh lampu perumahan, padahal Bosscha merupakan observatorium didaerah khatuliswa di Asia dan yang tertua di Asia Tenggara. Keindahan Bosscha suatu saat nanti tinggal kenangan belaka….sudah seharusnya pemerintah membuat sebuah observatorium yang besar dan lengkap serta bebas polusi cahaya disebuah kawasan yang dekat dengan garis khatulistiwa.

10 comments:

  1. Aduh....ngliat foto2nya jadi pengen ke situ , yah mas Arief perginya gak bilang2 . Kok aku gak di ajak sih .....:( * wajah memelas *

    ReplyDelete
  2. gw jg blom pernah mampir Rip.. hehe

    ReplyDelete
  3. hehee...bisa aja kamu...
    ini juga dadakan koq..lihat ada bangunan perak diujung bukit terus didatangin deh

    ReplyDelete
  4. lama bener mas....wong dibangun tahun 1923...

    ReplyDelete
  5. waduh pada belum kesini semua ya....

    ReplyDelete
  6. sama sapa kesana, rief...katanya berdua? ehem - ehem... :)

    ReplyDelete
  7. hush...gossip aja...sama temen2 tauuuuuuuuuuuuuuuu

    ReplyDelete
  8. daRi dLu Qw nGidam bgD ma yG nAmaxa bOsScHa.
    hiKs Lum kSmpaiAn peK sKrg.
    pEnGeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeenN bGd.
    kLO pNy jdwaL kUnjNGan bLh dUnk kBar2.
    oRng Jauh niy.
    he

    ReplyDelete