Wednesday, January 7, 2009

Nasib Pasar Tradisional di Era Modern

“Konflik antara pedagang Pasar Koja, Jakarta Utara, dan PD Pasar Jaya selaku pengelola terus berlanjut pada hari Sabtu lalu. Suasana memanas ketika petugas PT PLN yang dikawal ketat aparat polisi memutus jaringan listrik pasar. Petugas keamanan pasar kemudian melukai tiga pedagang” – tulis sebuah berita yang dimuat disebuah media massa nasional. Pasar Koja sangat familiar dalam kehidupan saya, karena hampir 18 tahun saya menetap di kawasan Jakarta Utara.

Pasar ini dulunya terletak dipinggir pelabuhan Tanjung Priuk dengan bangunan kunonya berbentuk ruko dua lantai dipinggir jalan raya dan para pedagang, sementara para pedagang sayur memajang dagangannya digang sempit sekitarnya. Akibat dari perluasan pelabuhan peti kemas Tanjung Priuk pada awal tahun 1990an, maka dipindahkan keselatan tepatnya dikawasan Semper, Jakarta Utara. Kini setelah hampir 15 tahun lebih berada ditempat yang layak, para pedagang dipaksa untuk dipindah ketempat lain. Ironis!!

Pasar dalam arti sempit adalah tempat dimana permintaan dan penawaran bertemu, dalam hal ini lebih condong ke arah pasar tradisional. Sedangkan dalam arti luas adalah proses transaksi antara permintaan dan penawaran, dalam hal ini lebih condong ke arah pasar modern. Permintaan dan Penawaran dapat berupa Barang atau Jasa. Dan dibedakan dalam beberapa jenis yaitu seperti jenis barang yang dijual, lokasi hari, luas jangkauan dan wujudnya.

Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. 

Pasar tradisional sudah dikenal sejak puluhan abad lalu, diperkirakan sudah muncul sejak jaman kerajaan Kutai Kartanegara pada abad ke -5 Masehi. Dimulai dari barter barang kebutuhan sehari-hari dengan para pelaut dari negri tirai bambu, masyarakat mulai menggelar dagangannya dan terjadilah transaksi jual beli tanpa mata uang hingga digunakan mata uang yang berasal dari negri Cina.

Bahkan dibeberapa relief candi nusantara diperlihatkan cerita tentang masyarakat jaman kerajaan ketika bertransaksi jual beli walau tidak secara detail. Pasar dijamannya dijadikan sebagai ajang pertemuan dari segenap penjuru desa dan bahkan digunakan sebagai alat politik untuk menukar informasi penting dijamannya. Bahkan pada saat masuknya peradaban Islam di tanah air diabad 12 Masehi, pasar digunakan sebagai alat untuk berdakwah. Para wali mengajarkan tata cara berdagang yang benar menurut ajaran Islam.

Kawasan pasar juga merupakan kawasan pembauran karena berbagai macam etnis hadir disana selain masyarakat lokal. Etnis Tionghoa, Arab, Gujarat, India merupakan para pedagang besar waktu itu. Pasar sebagian besar dibangun dipinggir pelabuhan dan sungai untuk memudahkan aktivitas bongkar muat barang dan memudahkan transaksi pembelian.

Dijaman penjajahan Belanda, pasar tradisional mulai diberikan tempat yang layak dengan didirikan bangunan yang cukup besar dijamannya. Pasar Beringharjo di Yogya, Pasar Johar di Semarang dan Pasar Gede di kota Solo adalah salahsatu contoh pasar tradisional terbaik dijamannya. Dan bahkan ada semacam ritual sendiri dimasyarakat Jawa yaitu pendirian bangunan pasar dilokasi tertentu harus mendapatkan semacam pulung (wahyu) agar para pedagang bisa laku berjualan ditempat tersebut. Pasar tersebut didirikan sebagai sentra penjualan bahan pangan dan sandang dikota besar dan agar para penjajah lebih mudah untuk mengawasi geliat pasar tradisional tersebut.

Dikota saya Tulungagung, bahkan terdapat pasar tradisional yang mengikuti pasaran (hari penanggalan) Jawa seperti pasar Legi, Kliwon, Legi dan Pahing. Para pedagang dan pembeli mengikuti perputaran hari tersebut. Misalnya pada hari pasaran Legi, maka pasar Legi disuatu tempat akan ramai oleh para pedagang dan pembeli. Sementara dihari lainnya, pasar Legi tidak akan ramai dan hanya ada beberapa pedagang saja. Bahkan ada pasar yang buka hanya untuk menjual beberapa macam jenis dagangan misalnya untuk jual beli kambing/sapi hanya dilakukan dipasar Kliwon saja. Sangat unik sekali ketika saya semasa kecil dan sedang berlibut dikampung, terkadang mengikuti Mama dan Bu’De saya berbelanja naik angkutan pedesaan menuju kesalahsatu pasar tradisional tersebut.

Berbagai macam barang dagangan yang unik terdapat dipasar tersebut misalkan sarang tawon, jantung pisang, bekicot, didih (darah ayam yang dibekukan) hingga hingar bingar musik Jawa yang dilantunkan dari pengeras suara dengan kualitas no.3. Melihat mama dan bude saya menawar barang dagangan juga menjadi hiburan tersendiri, para  ibu rumahtangga yang pandai menawar hingga harga terendah menjadi lelucon. Bahkan ada juga pedagang yang nakal karena mengurangi berat timbangan barang yang sudah dibeli. Pasar dijadikan ajang pertemuan dan temu kangen, misalkan mama saya yang sudah lama merantau di Jakarta bisa bertemu dengan kawan lamanya semasa kecil dipasar tersebut. Dan Bu De saya sendiri sudah kenal dengan sebagian pedagang tersebut, karena terbiasa mengikuti pola jualan mereka sesuai hari pasaran.

Jakarta juga mempunyai pasar dengan nilai historis yang cukup tinggi, diabad 16 M pasar terbentuk karena ada aktifitas bongkar muat dipelabuhan dan ada pembeli yang potensial. Pasar di Batavia berada dibagian utara kota tua Jakarta. Karena sempat ada peperangan antara masyarakat Tionghoa dan Belanda waktu itu, maka sempat dibakar habis oleh Belanda dan pasarnya kini dipindahkan dibagian selatan kota tua Batavia yaitu pasar Glodok yang sekarang masih berdiri. Seiring berjalannya waktu dan pertambahan penduduk, maka kota Batavia melebar keselatan. Terbentuklah kawasan pasar Baroe dan pasar Senen (karena ramainya hari senin saja waktu itu), aktivitas bongkar muat barang kepasar tersebut dilakukan lewat kanal-kanal sungai waktu itu dan yang masih tersisa adalah kanal didepan Pasar Baru. Sementara kawasan pasar Senen direvitalisasi ditahun 1970an akibat adanya inpres dari presiden yang terdahulu. Bahkan di tahun 1990an, sebagian kawasan pasar Senen lama dibongkar dan bangunan rukonya berubah menjadi pusat perbelanjaan dan hotel mewah.

Kawasan pasar Senen sendiri semakin berkembang hingga kini, diakhir tahun 1987an kawasan pasar Senen mulai terkenal karena ada ritel Ramayana dan Robinson. Jaman tahun 1987an, berbelanja di Ramayana dan Robinson menjadi suatu kebanggaan sendiri.

Kini pasar tradisional menurut hari pasaran sudah mulai berkurang karena pemda daerah sudah mendirikan bangunan pasar yang baru dan cukup besar. Pasar tradisional sendiri sekarang dikelola oleh pemerintah dan rata-rata mengalami nasib yang kurang layak seperti bangunan pasar yang sudah lama dengan kondisi pasar yang kumuh, becek, serta padat. Umumnya, pasar tradisional mempunyai segmen menengah kebawah dan berjualan eceran. Pengunjungnya didominasi oleh ibu rumah tangga dan pedagang keliling. Diperkirakan ada 24.000 pasar tradisional dengan menyerap tenaga kerja sebesar 12.000.000 (sebagian besar sebagai pedagang) dan omzet harian lebih dari Rp 500 miliar s/d 1 trilyun rupiah diseluruh Indonesia. Jumlah yang sangat besar sekali disaat krisis seperti ini, bayangkan perputaran uang yang sangat besar sekali dari pasar tradisional tersebut.

Kini di era yang semakin canggih, pasar tradisional semakin tergusur. Terakhir kali saya mengunjungi pasar tradisional sekitar 1 bulan yang lalu ketika mengantar mama saya kepasar inpres Jatiasih, Bekasi. Pasar Inpres dibuat semasa alm. Presiden Suharto yaitu sebuah program untuk merevitalisasi pasar tradisional dengan bangunan dan tempat yang lebih layak. Tetapi pasar inpres tetaplah seperti pasar tradisional yang becek, kotor karena pedagang dengan seenaknya membuang sisa sayuran seenaknya. Diwaktu musim hujan seperti ini, saya paling malas diajak kepasar tradisional karena pasti super duper becek. Karena ada beberapa bahan pangan yang tidak dijual dipasar modern sekalipun dan saya takjub karena pasar inpres tersebut sangat lengkap mulai dari toko emas, kaset, mainan, baju, obat-obatan hingga kios daging segar, ikan dan sayuran segar hingga pedagang makanan tradisional dan penjual kembang tujuh rupa + menyan yang tentu tidak dijual dihypermarket.

Hypermarket dan pasar modern adalah musuh utama pasar tradisional saat ini. Pasar modern tidak banyak berbeda dari pasar tradisional, namun pasar jenis ini penjual dan pembeli tidak bertransakasi secara langsung melainkan pembeli melihat label harga yang tercantum dalam barang (barcode), berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga. Barang-barang yang dijual, selain bahan makanan makanan seperti; buah, sayuran, daging; sebagian besar barang lainnya yang dijual adalah barang yang dapat bertahan lama. Contoh dari pasar modern adalah, supermarket, pasar swalayan, hypermarket dan minimarket.

Hypermarket lebih membidik golongan menengah keatas dan dengan bangunan pasar modern yang cukup besar, rapi dan bersih. Kebersihan adalah salahsatu syarat mutlak dari pasar modern. Giant, Carrefour dan Hypermart adalah salahsatu brand pasar ritel modern di Indonesia, mereka muncul hampir disetiap kota besar dipulau Jawa, Sumatra, Bali, Sulawesi dan Kalimantan.

Pasar modern sendiri muncul diperiode tahun 1980an di Jakarta, pasar Mayestik dan Blok M adalah salahsatu pasar yang cukup nyaman dijamannya. Hingga muncul beberapa supermarket menjadi tempat belanja yang wah pada saya masih kecil. Salahsatu supermarket tertua di Indonesia yaitu Gelael dan Hero yang membidik golongan menengah keatas dibeberapa tempat di Jakarta. Kini hanya ada beberapa gerai supermarket saja yang masih bertahan di Jakarta. Selebihnya sudah banyak yang tutup semenjak mini market membooming diawal tahun 2000.

Minimarket seperti Alfamart dan Indomart seperti berlomba untuk menguasai ceruk yang ada. Ditempatb saya sudah ada 3 buah Alfamart dan 3 buah Indomart hanya dengan jarak ½ km saja dan ada yg beberapa toko saling berhadapan. Tidak jauh dari Pasar Inpres Jatiasih, terdapat sebuah hypermarket dengan merk Naga dan 1 km kedepannya kini sedang dibangun Giant.

Jadi pasar tradisional sudah dijegal sana sini, pembeli tidak harus repot berbecek ria untuk menuju kepasar tradisional dimusim hujan kecuali terpaksa. Karena kebutuhan harian bisa dibeli di minimarket terdekat dan kebutuhan belanja bulanan bisa dibeli dihypermarket. Sudah seharusnya pasar tradisional dirubah menjadi pasar modern yang bersih dan nyaman bagi para pembeli yang berkunjung.

Bukan berarti pasar tradisional terus digusur kemudian diganti dengan hypermarket atau bangunan mal mewah. Sudah banyak kasus seperti ini yang mengatasnamakan revitalisasi pasar tapi kemudian para pedagang digusur, diancam apabila tidak mau pindah atau bahkan dibakar sebagai pemaksaan secara tidak langsung. Sudah banyak pasar yang terbakar kemudian dipagari seng dan kemudian para pedagang dilarang membangun kiosnya kembali, kemudian bangunan bekas pasar berubah menjadi pusat perbelanjaan. Dan para pedagang yang dulu mempunyai kios diharuskan membeli kios baru dengan harga baru yang lebih mahal, padahal kios tersebut menjadi sumber penghasilan buat sipedagang. Tidak heran apabila pedagang dipasar Koja dan daerah lain sempat ricuh karena ketidakadilan yang terjadi.

Salahsatu pedagang kain langganan mama saya disebuah pasar di Jakarta Pusat bercerita, ia sebelumnya mempunyai 3 buah kios bahan kain dipasar tersebut hingga terjadilah kebakaran yang menghabiskan hampir sebagian pasar disiang hari.  Harga satu kios saja sudah ratusan juta dan setelah musibah kebakaran hanya diganti satu buah kios karena harga 1 kios = Rp 1 miliar lebih = hampir 3 kios. Buah ketidakadilan yang harus ia dapatkan, tetapi ia tidak punya pilihan lain lagi. Kini pasar yang dibangun hingga beberapa lantai, hanya ramai dikunjungi pembeli dibeberapa lantai saja…selebihnya kosong.

Padahal dibeberapa negara lain seperti negri Jiran – Malaysia dan Singapore, pasar tradisional dijadikan tujuan wisata. Pasar tradisional dikelola dengan professional dan bersih sehingga pengunjung juga merasa nyaman dan senang berbelanja. Thailand, pasar apungnya bahkan menjadi tujuan utama oleh turis asing yang berkunjung. Pasar tradisional di Turki, Jepang dan Korea juga dikelola secara professional dan menjadi tujuan wisata.

Bukan seperti di Indonesia yang malah malu dengan identitas pasar tradisionalnya, coba dikelola secara professional, rapi dan super duper bersih…pasti bisa menjadi obyek wisata yang menarik serta menambah tenaga kerja serta pendapatan negara. Atau memang ini sudah menjadi penanda jaman seperti yang diramalkan oleh Jayabaya…

Pasar ilang kumandhange atau pasar tradisional kehilangan pamornya lagi…..semuanya memakai barcode, dilayani oleh pramuniaga yang bagaikan robot……. Das ist das Ende der Geschichte von einem traditionellen Markt…

 

 

 

10 comments:

  1. Kemaren saat di Yogya, saya sempat berkunjung ke Beringharjo ... keliatannya cukup rapih dan tertib. Semestinya jadi contoh pengembangan pasar tradisional di tempat lain. Di tempat saya sendiri, Pasar Minggu, pasarnya masih jauh dari image bersih dan tertib. Itikad pemerintah kecamatan masih terhadang kepentingan-kepentingan lain.

    ReplyDelete
  2. sedih emang kalo ngeliat nasib para pedagang pasar hari gini.....
    tapi ditengah maraknya pemberitaan miring beberapa oknum pedagang (umumnya di pasar tradisional) yang jual barang palsu, ayam tiren, atau curangin timbangan, pilihan buat belanja ke pasar tradisional terasa seperti sedang bermain judi....paling pasti jadinya di pasar2 modern seperti hypermart....
    tapi aku tetap penggemar belanja di pasar tradisional kok

    ReplyDelete
  3. oh iya buruknya belanja dipasar tradisional kualitasnya patut dipertanyakan juga ya sehubungan dengan nakalnya para pedagang.....seyem aja pas lihat banyak ayam tiren dan daging suntik....hehehe

    ReplyDelete
  4. baca tulisan mas Arif...jadi inget pelajaran Ekonomi waktu SMP hehe...

    ReplyDelete
  5. kan duitnya masuk kekantong pemda ....kantong pribadi mereka maksud saya...
    buat perbaikan pasar tunggu APBD turun aja...hehehe

    ReplyDelete
  6. Di Pekanbaru, satu per satu pasar dimodernisasi. Tiap tahun bakal ada satu pasar modern yang dibuka, tapi parahnya pemerintah itu gak ngerti dan gak mendata jumlah pedagang dengan benar (di sisi lain pihak developer juga memasukkan pedagang baru). Hal ini menyebabkan, banyak pedagang lama tidak tertampung di pasar baru. .... Masalah kompleks, di sisi lain Kota sekecil Pekanbaru (populasi 700 ribu jiwa untuk radius 40 km) sudah punya Hypermarket kelas kakap seperti Hypermart, Makro, dan menyusul akan masuk pula GIANT sudah tahap finishing. Carrefour bahkan dalam tahap negosiasi, negosiasi pertama mereka kandas karena pihak Carrefour berencana membangun gerai mereka di pusat Kota dan Jalan Utama Kota Pekanbaru, yang mendapat tentangan keras dari pihak DPRD KOta Pekanbaru. Hmmm .... Berpikir keras ...

    ReplyDelete
  7. wah seru dunk kota pekanbaru...jadi banyak pusat perbelanjaan....hehehhee
    semakin lama pasar tradisionalnya bisa mati suri

    ReplyDelete
  8. Bandung dong lebih seru........mall sama FO semuahhhhhhhhhhhhhhhhhhhh

    ReplyDelete
  9. Mas, aku boleh tau ga tentang sumber-sumber data pasar yang mas tulis. kebetulan Tugas Akhir saya membahas tentang Pasar Modern. Mulai dari sejarah pasar, klasifikasi pasar, dan perkembangannya. klo dari buku, apa nama buku dan penerbitnya. mohon bantuannya. Informasi tentang itu semua sangat saya butuhkan, mohon dapat dkiirim lewat email ke prin_awan@yahoo.com

    ReplyDelete
  10. pakabar richard...tulisan saya mengenai pasar tradisional ini berdasarkan fakta dan survey kecil-kecilan. Untuk buku yang memuat sejarah pasar tradisional mungkin bisa dicari di perpustakaan nasional di Salemba, karena cukup lengkap. Dan lebih baik richard melihat perkembangan pasar tradisional saat ini dikota Yogya, Solo, Cirebon atau Surabaya...so you can feel the atmosphere.

    ReplyDelete