Tuesday, January 1, 2008

Robohnya Jembatan Kami

               Akhir tahun 2007 ini, alam benar-benar murka. Beberapa tempat di Indonesia mengalamai tanah longsor, banjir besar dan gelombang tinggi menerjang beberapa kawasan. Saya sedih dan miris mendengar serta membaca beritanya. Kawasan Ngawi, Jawa Timur adalah tempat yang familiar buat saya dan keluarga. Karena kebetulan keluarga mama saya berasal dari Tulungagung, Jawa Timur. Setiap akhir tahun kami pasti melewati  daerah tersebut pada saat mudik lebaran, baik dari dengan kendaraan pribadi atau juga dengan kereta api.

                Ngawi terletak di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, pokoknya kalau sudah sampai Ngawi, mama saya pasti agak tenang karena tinggal beberapa jam lagi perjalanan darat yang melelahkan pasti akan segera berakhir. Ngawi dalam ingatan saya adalah kota yang tenang, bersih sekali dan terawat dengan baik, dilewati sebuah sungai besar (sungai Bengawan Solo) dan sebuah jembatan besar yang membelah perbatasan kedua propinsi tersebut, masih banyak hutan jatinya. Suatu hari, sewaktu saya masih sering membawa mobil sendiri Jakarta – Bali, mobil saya pernah diberhentikan oleh seorang polisi di kawasan hutan jati Ngawi. Alasan mereka karena mobil saya melewati garis  tengah pembatas jalan, karena memang saya ingin menyalip sebuah truk besar yang berjalan pelan sekali, sementara didepannya kosong. Setelah melewati belokan dan rel kereta api, disanalah polisi dengan tenang menunggu dan memberhentikan saya.

                Saya pun berhenti dan dengan terpaksa membayar uang jasa sebesar Rp 50,000 kepada petugas polisi tersebut dengan alasan bahwa saya harus buru-buru tiba di Tulungagung, kampung halaman orangtua saya. Selidik punya selidik, ternyata kata Paman saya yang sudah hafal kawasan tersebut, memang ada polisi yang bersembunyi sebelum belokan rel kereta api di kawasan hutan jati tersebut, dan biasanya mereka membawa radio panggil. Sehingga apabila ada mobil yang menyalip dari sebelah kanan dan melewati garis pembatas warna kuning, mereka langsung mengkontak rekannya diseberang rel kereta api dengan serta merta rekan mereka akan memberhentikan mobil tersebut. Mudah khan dan sangat cerdik sekali...........hehehhee...

                Ngawi beberapa tahun ini semenjak reformasi mengalami penjarahan hutan jati besar-besaran. Hutan jati yang kalian lewat disepanjang jalur utama ke surabaya, hanyalah sebagian kecil yang masih tersisa. Dibelakang bukit-bukit lainnya, hutan jati sudah gundul walau saat ini ada yang sudah ditanami kembali oleh perhutani. Cuma apa lacur, ratusan kubik bahkan ribuan kubik kayu jati sudah hilang dijarah tiap tahunnya oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Kawasan subur yang dulu menjadi serapan  dan kekuatan bumi Ngawi kini telah hilang. Hasilnya Ngawi mengalami banjir besar tahun ini akibat hilangnya kawasan hutan di hulu sungai. Dari laporan perjalanan Kompas mengenai sejarah masa lampau, Ngawi dan sekitarnya merupakan kawasan purbakala dan sudah dihuni oleh beribu tahun lalu oleh nenek moyang kita.

                Pagi ini saya terbangun, karena mama saya memberitahu bahwa sebuah jembatan besar di Tulungagung, tempat kelahiran mama saya telah runtuh. Mama saya kemudian menghubungi saudaranya melalui HP, hanya ingin tahu mengenai kabar mereka dan jembatan mana yang runtuh. Ternyata jembatan runtuh tersebut merupakan jembatan favorite saya apabila saya mudik.

                Jembatan besi baja tersebut sangat unik, dibuat oleh Belanda sekitar akhir tahun 1900an. Berdiri kokoh diatas sungai Brantas (sungai terpanjang dan terbesar di Jawa Timur) dan dulunya sebagai jembatan penghubung dari desa sebrang ke desa tempat Bude dan Pak De saya tinggal, desa Karangrejo dikaki gunung Wilis yang berdiri dengan anggun dan tidak pernah meletus walau menurut laporan gunung tersebut aktif.

                Dahulu kala, jembatan ini digunakan sebagai jalur kereta lori (gerbong kereta yang terbuka) untuk mengangkut tebu dari desa sebrang menuju ke pabrik tebu yang sangat terkenal “redjopanggung” dan tempat kelahiran  FOKKER (pembuat mesin pesawat terbang kebangsaan Belanda). Pada jaman PKI di tahun 1945an dan 1965an, jembatan ini menjadi tempat pembunuhan massal mereka yang dianggap sebagai PKI (partai komunis Indonesia).

                Tulungagung dan sebagian wilayah Jawa Timur seperti Kediri dan Blitar merupakan basis pertempuran antara TNI vs PKI. Mereka yang dianggap sebagai pelaku seni dan simpatisan PKI dibunuh dan mayatnya dibuang dari atas jembatan ini. Saya dapat informasinya dari Bu De dan Pak De saya termasuk mama saya sendiri. Bahkan masyarakat sekitar banyak yang stress melihat puluhan mayat mengambang di sungai Brantas tiap harinya. Konon banyak masyarakat sekitar yang tidak berani makan ikan sungai pada waktu lalu.

                Tahun 2006, saya masih sempat mengabadikan jembatan ini melalui kamera saya. Dan dari jembatan inilah kadang saya naik sepeda ontel dan berdiam di tengah jembatan yang jalur lorinya sudah tidak ada diganti dengan jalan aspal. Dari atas jembatan inilah saya m elihat aktifitas pertambangan pasir yang membuat saya khawatir akan kelangsungan hidup masyarakat sekitar serta jembatan itu sendiri. Jembatan baja tersebut yang dicat warna silver terang kini tinggal kenangan, sudah runtuh dan entah kapan bisa berdiri lagi. Besi bajanya sudah berumur hampir 1 abad dan tidak mungkin lagi digantikan oleh besi baja kualitas sekarang yang tidak sekuat dan sebagus baja buatan Belanda.

                Pertambangan pasir satu sisi memang membawa berkah bagi masyarakat sepanjang sungai Brantas, tapi sebenarnya pemda Tulungagung sendiri sudah sering menutup pertambangan pasir ilegal disepanjang sungai Brantas. Tapi apa lacur, selama praktek kolusi masih dijalankan, pertambangan pasir tetap berjalan, bahkan dimalam hari sekalipun. Kini kekhawatiran saya terbukti, beruntung tidak ada satu keluarga saya berbisnis ini, Pak De dan Bu De saya masih mengandalkan bisnis perkebunan tebu dan jeruk dilahan yang terletak dibelakang rumah keluarga besar.

                Penggundulan hutan di kawasan selatan Tulungagung juga menyebabkan meluapnya sungai Brantas dan banjir di Trenggalek. Semoga saja kawasan hutan alam di gunung Wilis tidak dijamah. Karena saya sangat menyukai kawasan gunung Wilis tersebut. Hanya dengan naik motor ke arah pegunungan yang menempuh waktu selama 30 menit, saya sudah bisa mencapai kawasan perkebunan teh yang cukup luas. Air sungai yang mengalir dingin serta jernih menambah kedamaian hati. Hutan pinus berdiri dengan megahnya dan diujung gunung Wilis yang tidak berkawah, terdapat hutan tropis alami yang masih terjaga. Dikawasan hutan tropis alami ini terdapat habitat elang Jawa, rusa dan konon harimau Jawa yang katanya sudah punah, jadi kalau saya kesana selain menikmati keindahan alamnya saya bisa melihat kepak sayap elang jawa yang terbang dengan gagahnya. Urghh...semoga saya masih bisa menikmati keindahan alam yang tiada taranya ini.

                Alam memang sudah murka karena tabiat manusia sudah melebihi perilaku hewan. Hutan ditebang, pasir sungai ditambang secara ilegali, longsor dan banjir terjadi. Saya seorang muslim tapi saya sangat menghormati sekali prilaku umat Hindu Bali yang menganut Trihita Karana (hubungan antara manusia, Tuhan dan alam sekitarnya). Umat Hindu Bali tidak menebangi pohon – pohon besar, karena menurut kepercayaan mereka pohon-pohon besar mempunyai kehidupan tersendiri dan tempat bersemayamnya roh para leluhur. Pohon besar dihormati, diberi kain kuning dan diberi sesaji. Memang tampak sangat tidak masuk akal, tapi menurut saya hal itu lebih dari sekadar logika tapi sebuah metamorfosis kehidupan yang seimbang.

                Buat saya, sebuah pohon memang mempunyai sebuah jiwa. Jiwa kehidupan terdapat didalamnya yang bisa melindungi umat manusia dari panas dan hujan serta angin yang kencang. Pepohonan adalan  berkah dari Tuhan untuk manusia yang harus dijaga termasuk alam sekitarnya. Jadi ingat disebuah gerbong restorasi jurusan Jakarta – Surabaya, ada seorang bapak paruh baya yang tampil parlente sedang asyik bercerita dengan rekan bisnisnya sambil ditemani kopi hangat. Dia bercerita bahwa ada sebuah pulau di Papua yang ditumbuhi oleh beratus pohon besar yang buat dia adalah sebuah bisnis besar, dengan bangganya dia bercerita bahwa apabila pepohonan besar tersebut ditebangi dengan sistim konsesi lahan, berapa besar keuntungan yang akan dia dapatkan dengan dalil untuk ekspor kayu olahan. Saya jadi miris mendengar cerita bapak itu, saya membayangkan pulau itu akan gersang dan mungkin akan tenggelam belum lagi kehidupan masyarakat pulau tersebut. Huh..... semoga saja oknum seperti bapak yang saya ceritakan tadi bisa terbuka mata hatinya. Bahwa alam sedang murka, karena keculasan manusia itu sendiri. Semoga Tuhan YME mengampuni semua dosa para korban bencana alam di tanah air dan dosa kita semua. Semoga bencana alam segera berakhir dan mari kita hijaukan lahan disekitar kita. We start from our surrounding......respecting the mother earth, resolution for 2008.

No comments:

Post a Comment